Senin, 09 Oktober 2017

Tindak Pidana Gratifikasi



TUGAS MID TEST MATA KULIAH TINDAK PIDANA KORUPSI

Tindak Pidana Gratifikasi




DISUSUN OLEH

Nama : Muh. Syahrul Ago
Nim. : 45 14 060 002
Fakultas : Hukum
Kelas : A/2014


Motto hidup : “Kebahagiaan Terbesar Dalam Hidup Adalah Ketika Kita Mampu Melakukan Sesuatu Yang Menurut Orang Tidak Bisa Kita Lakukan”



UNIVERSITAS BOSOWA MAKASSAR
2017

Kata Pengantar
Bismillahirrohmanirrahim
Assalamu`alaikum Warahmatullahi Wabarakatu
Dengan mengucapkan rasa syukur kepada Tuhan yang Maha Esa yang telah melimpahkan segala Rahmat dan Hidayah-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan tugas makalah Tindak Pidana Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme dengan judul “Tindak Pidana Gratifikasi” ini tampa ada hambatan yang begitu sulit. Makalah ini sebagai tugas pengganti mid test pada mata kuliah Tindak Pidana Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Makalah ini merupakan usaha keras penulis dari hasil materi kuliah yang materinya dikutip dari buku dan beberapa sumber bacaan lain kemudian dianalisis secara matang hingga menghasilkan suatu pemahaman bagi penulis mengenai tindak pidana gatifikasi yang kemudian dituangkan dalam sebuah makalah.
Di dalam makalah ini terdapat beberapa pokok bahasan yang penulis akan bahas. Pada bagian pertama akan dibahas mengenai pengertian, dasar hukum, dan unsur-unsur gratifikasi. Bagian kedua membahas mengenai pelaporan, penentuan status hukum gratifikasi, dan pembuktian gratifikasi di sidang pengadilan.
Ahirnya dengan rendah hati, penulis mengetahui akan banyaknya kekurangan dari makalah ini, maka dari itu penulis tidak akan berhenti sampai di sini saja untuk terus belajar terhadap semua persoalan hukum terkhusus mengenai tindak pidana korupsi. Semoga makalah ini bermanfaat untuk kita semua dan Allah senantiasa memberikan limpahan keberkahan ilmunya kepada kita semua.
Billahitaufiqi Walhidayah
Wassalamu`alaikum Warahmatullahi Wabarakatu.

 Makassar, 23 April 2017
Penulis         
(Muh. Syahrul Ago)
 

DAFTAR ISI

Halaman Sampul ...................................................................................................  i
Kata Pengantar ......................................................................................................  ii
Daftar Isi ..................................................................................................................  iii

BAB I. PEMBAHASAN PERTAMA
A.   Pengertian Gratifikasi ...............................................................................  1
B.   Dasar Hukum Gratifikasi ..........................................................................  3
C.   Unsur-Unsur Gratifikasi ............................................................................  4

BAB II. PEMBAHASAN KEDUA
A.   Pelaporan Tindak Pidana Gratifikasi...................................................... 7
B.   Penentuan Status Hukum Gratifikasi ....................................................  10
C.   Pembuktian Gratifikasi Di Sidang Pengadilan .....................................  11

BAB III. PENUTUP
A.   Kesimpulan .................................................................................................  13
B.   Saran ...........................................................................................................  14

DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................................  15









Oval: iii
 

BAB I
PEMBAHASAN PERTAMA
A.     Pengertian Gratifikasi
Gratifikasi merupakan salah satu bentuk korupsi yang selama ini banyak dipratikkan dalam birokrasi oleh pegawai negeri dan penyelenggaraan negara, tetapi belum banyak tersentuh hukum. Padahal dalam realitasnya, banyak mempengaruhi sikap pegawai negeri dan penyelenggara negara dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya. Pengertian gratifikasi dalam kamus besar bahasa Indonesia yang disusun oleh W.J.S. Poerwadarminta (1976: 329) adalah uang hadiahkepada pegawai di luar gaji yang telah ditentukan. (Marwan Mas, 2014: 77).
Kata gratifikasi menurut kamus bahasa Belanda adalah “gratificatie” tetapi kata gratifikasi yang kemudian dijadikan dasar pembentuk undang-undang merumuskan sebagai salah satu bentuk korupsi, setidaknya mengacu pada bahasa Inggris, yaitu “gratification”. Kata tersebut bermakna sebagai pemberian hadiah kepada pegawai negeri ataupun penyelenggara negara yang meliputi, pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tampa bunga, dan fasilitas lainnya. (Marwan Mas, 2014: 77).
Oval: 1Jika dimaknai dari beberapa gambaran mengenai gratifikasi di atas, menurut hemat penulis gratifikasi dapat dipahami sebagai pemberian hadiah kepada pegawai negeri atau pejabat penyelenggara negara baik berupa uang, barang, diskon, komisi, pinjaman tampa bunga, dan fasilitas lainnya di laur daripada gajinya yang telah ditentukan demi untuk suatu tujuan tertentu. Sudah bukan rahasia lagi, jika ingin pelayanan yang diberikan berjalan lancar dan sesuai keinginan, harus adanya suatu pelicin ataupun uang jasa. Jarang sekali tanpa adanya pelicin ataupun uang jasa ini, pelayanan akan berjalan dengan lancar atau sesuai dengan keinginan. Tentu saja persoalan semacam ini sudah sering di temukan dalama kejidupan sehari-hari. Contohnya, apabila ingin mengurus surat-surat di berbagai instansi atau kantor supaya berjalan lancar maka harus ada pelicin supaya lebih cepat selesai.
Dalam perkembangannya, gratifikasi bermakna sebagai sedekah dalam kaitannya dengan pemberian hadiah yang diterima atau diberikan dengan maksud untuk mempengaruhi pegawai negeri atau penyelenggara negara secara tidak benar. Definisi gartifikasi ini konotasinya adalah penyuapan yang pada adanya janji, iming-iming, atau pemberian keuntungan yang tidak pantas oleh seseorang kepada pejabat atau pegawai negeri, langsung atau tidak langsung dengan maksud agar pegawai negeri atau pejabat tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuai dengan tugasnya yang sah. (Muladi, 2010: 2).
Ditilik secara hukum, sebenarnya tidak ada masalah dengan gratifikasi. Tindakan ini hanyalah sekadar suatu perbuatan seseorang memberikan hadiah atau hibah kepada orang lain. Tentu saja hal tersebut diperbolehkan. Namun, seiring perkembangan waktu, budaya, dan pola hidup pemberian yang acap disebut gratifikasi mulai mengalami dualisme makna. Pemberian kepada pejabat pemerintah atau penyelenggara negara selalu disertai dengan pengharapan untuk memperoleh kemudahan mencapai kesepakatan dengan pemerintah umumnya dalam bidang pengadaan barang dan jasa. Di sini, pihak yang diuntungkan di kemudian hari adalah pemberi hadiah. Pada saat tender misalnya, peserta tender yang pernah memberikan gratifikasi tentu memiliki poin lebih atau bahkan tertinggi dibanding peserta tender lain. (Widya Ayu Rakti, 2011).
Jika dilihat perkembangan pada tindak pidana korupsi yang semakin hari semakin komplit dan para pelakunyapun selalu mencari celah bagaimana supaya undang-undang itu dapat dimanfaatkan sehingga bisa lari dari jeratan hukumnya. Tindak pidana korupsi sebagai suatu tindak pidana yang sudah ada sejak dulu sampai sekarang dan terus mengalami perkembangan dalam berbagai bentuk. Dapat dikatakan bahwa hampir semua tindak pidana mempunyai hubungan dengan tindak pidana korupsi. Hal itu dapat dilihat pada proses penyelesaian suatu perkara tindak pidana, di mana suatu permainan bisa diatur oleh para penegak hukum.

Oval: 2
 

B.    Dasar Hukum Gratifikasi
Adapun dasar hukum gratifikasi (Marwan Mas, 2014: 78) diatur dalam Pasal 12 B UU Korupsi Tahun 2001 yang dapat dikenakan pembuktian terbalik adalah sebagai berikut:
(1)  Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang bertentangan dengan kewajibannya atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:
a.    Yang nilainya Rp 10.000.000 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi.
b.    Yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.
(2)  Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagai-mana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000 (satu milliar rupiah).
Penjelasan Pasal 12 B Ayat (1) : yang dimaksud dengan gratifikasi dalam ayat ini adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tampa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan Cuma-Cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut, baik yang diterima dalam negeri maupun di luar negeri dan atau dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tampa sarana elektronik.
Oval: 3Berdasarkan ketentuan di atas, penulis ingin mengutarakan pendapat-nya terkait dengan Pasal 12 B Ayat (1) huruf a dan b mengenai cara pembuktian gratifikasi. Huruf a dan b disebutkan bahwa jika gratifikasi yang diterima pegawai negeri nilainya Rp 10.000.000 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, maka pembuktian bahwa itu bukan suap dilakukan oleh si penerima gratifikasi. Tetapi, jika nilai gratifikasi yang diterima kurang dari Rp 10.000.000 (sepuluh juta rupiah), maka pembuktian bahwa itu bukan suap dilakukan oleh penuntut umum. Beban pembuktian yang dilakukan oleh penerima gratifikasi sebagaimana yang dimaksud pada huruf a adalah pembuktian terbalik.

C.    Unsur-Unsur Gratifikasi
Menyimak ketentuan pada Pasal 12 B Ayat (1) UU Korupsi Tahun 2001, (Marwan Mas, 2014: 79) maka unsur-unsur gratifikasi yang termasuk perbuatan melawan hukum adalah sebagai berikut:
a.  Subjek hukum (pelaku) yang dapat dipidana sebagai penerima gratifikasi adalah pegawai negeri atau penyelenggara negara. Yang dimaksud dengan pegawai negeri diatur dalam Pasal 1 butir 2 UU Korupsi, yang meliputi sebagai berikut:
1.    Pegawai negeri sebagaimana yang dimaksud dalam undang-undang tentang kepegawaian.
2.    Pegawai negeri sebagaimana yang dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
3.    Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah.
4.    Orang menerima gaji atau upah dari suatu koorporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah.
5.    Orang yang menerima gaji atau upah dari koorporasi lain yang mepergunakan modal dan fasilitas dari negara atau masyarakat.
Sedangkan yang dimaksud dengan penyelenggara negara diatur dalam Pasal 1 butir 1 UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, yaitu penyelenggara negara adalah pejabat negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, dan yudikatif dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Oval: 4Penyelenggara negara yang bersih ditegaskan dalam Pasal 1 butir 2 UU No. 28 Tahun 2009, yaitu penyelenggara negara yang menaati asas-asas umum penyelenggaraan negara dan bebas dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta perbuatan tercela lainnya. Penyelenggara negara meliputi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 UU No. 28 Tahun 1999 sebagai berikut:
1.  Pejabat negara pada lembaga tertinggi negara (tidak lagi dikenal istilah ini setelah empat kali UUD 1945 diamandemen, tetapi hanya disebut lembaga negara.
2.  Pejabat negara pada lembaga tinggi negara.
3.  Menteri
4.  Gubernur
5.  Hakim
6.  Pejabat negara lain sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
7.  Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan negara, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Yang dimaksud dengan gubernur adalah wakil pemerintah pusat di daerah. Yang dimaksud dengan hakim dalam ketentuan ini meliputi hakim disemua tingkatan pengadilan. Yang dimaksud dengan pejabat negara yang lain dalam ketentuan ini misalnya, kepala perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang berkedudukan sebagai duta besar luar biasa dan berkuasa penuh, wakil gubernur, dan bupati/walikota, sedangkan yang dimaksud dengan pejabat lain yang memiliki fungsi strategis adalah pejabat yang tugas dan wewenangnya dalam melakukan penyelenggaraan negara rawan terhadap praktik KKN yang meliputi sebagai berikut:
1.  Direksi, komisaris, dan pejabat struktural lainnya pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).
2.  Pimpinan Bank Indonesia dan pimpinan Badan Penyehatan Pebankan Nasional (BPPN).
3.  Oval: 5Pimpinan Perguruang Tinggi.
4.  Pejabat esalon I dan pejabat lain yang disamakan di lingkungan sipil, militer, dan kepolisian Republik Indonesia.
5.  Jaksa
6.  Penyidik
7.  Panitera pengadilan
8.  Pimpinan dan bedahawan proyek.
b.  Gratifikasi termasuk pemberian suap, merupakan bentuk lain dari korupsi yang dilarang dan ditujukan secara khusus untuk diterima bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara, sedangkan penerima suap yang bukan pegawai negeri atau pelenggara negara dapat dikenakan Pasal 5 UU No. 31 Tahun 1999.
c.   Berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajibannya dan tugasnya.
Menyimpulkan uraian unsur-unsur gratifikasi yang telah dijelaskan di atas, penulis dapat menyimpulkan secara garis besar ada tiga pokok penting dalam unsur yang harus terpenuhi sehingga dapat dikatakan sebagai gratifikasi diantaranya adalah pegawai negeri atau penyelenggara negara, menerima hadiah dari orang lain (pemberian hadiah dalam arti yang luas), dan berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban dan tusanya.
Dalam hemat penulis, pemberian hadiah bisa saja diterimah oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara asalkan hadiah itu tidak ada hubungannya dengan pekerjaan atau jabatan yang dipangku-nya. Misalnya, pemberian hadiah pada saat ulang tahun atau acara pernikahannya yang diberikan oleh saudara atau sahabanya sendiri. Kemudian jika pemberian hadiah itu dikhawatirkan dianggap sebagai bentuk gratifikasi, maka sebaiknya hadiah itu dipublikasikan atau dilaporkan kepada pihak yang terkait dengan itu. Pihak penerima laporan dalam hal ini adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).


Oval: 6
 

BAB II
PEMBAHASAN KEDUA
A.  Pelaporan Tindak Pidana Gratifikasi
Mengenai pelaporan gratifikasi yang dilakukan oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara yang telah menerima gratifikasi merupakan perintah Pasal 12 C Ayat (1) dan Ayat (2) UU No. 20 Tahun 2001. (Marwan Mas, 2014: 81). Artinya, setiap gratifikasi yang diterima harus dilaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai berikut:
Pasal 12 C Ayat (1) dan Ayat (2) UU No. 20 Tahun 2001:
(1)  Ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 12 B Ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
(2)  Menyampaikan laporan sebagaimana yang dimaksud dalam Ayat (1) wajib dilakukan oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima.
Berdasarkan pengalaman yang acap kali ditemui, (Marwan Mas, 2014: 81) terdapat beberapa contoh kasus yang dapat digolongkan sebagai gratifikasi.
-       Pembiayaan kunjungan kerja lembaga legislatif, karena hal ini dapat mempengaruhi legislasi dan implementasinya.
-       Cinderamata bagi guru (PNS) setelah pembagian rapor atau kelulusan.
-       Pungutan liar di jalan raya dan tidak disertai tanda bukti dengan tujuan sumbangan yang jelas, oknum yang terlibat bisa jadi dari petugas kepolisian (polisi lalu lintas), retribusi (dinas pendapatan daerah), lalu lintas angkatan jalan raya (LLAJR), dan masyarakat (preman). Apabila kasus ini terjadi, maka KPK selalu menyarangkan agar laporan dipublikasikan oleh media massa dan dilakukan penindakan tegas terhadap pelaku.
-       Oval: 7Penyediaan biaya tambahan (fer), misalnya antara 10-20 persen dari nilai proyek.
-       Uang retribusi untuk masuk pelabuhan tampa tiket yang dilakukan oleh instansi pelabuhan, dinas perhubungan, dan dinas endapatan daerah.
-       Parsel ponsel canggih keluaran terbaru dari pengusaha kepada pejabat negara atau daerah.
-       Perjalanan usaha bagi kepala daerah menjelan akhir jabatan.
-       Pembangunan tempat ibadah di kantor pemerintah (karena biasanyasudah tersedia anggaran untuk pembanguan tempat ibadah, di mana anggaran tersebut harus dipergunakan sesuai dengan pos anggaran dan keperluan tambahan dana dapat menggunakan kotak amal).
-       Hadiah pernikahan untuk keluarga pegawai negeri sipil atau penyelenggara negara yang melewati batas kewajaran, baik nilai ataupun harganya.
-       Pengurusan Kartu Tanda Penduduk (KTP), Surat Izin Mengemudi (SIM), paspor yang dipercepat dengan membayar uang tambahan atau pelicin.
-       Mensponsori konfrensi internasional tampa menyebutkan biaya perjalanan yang transparan dan kegunaannya, adanya penerimaan ganda dengan jumlah yang tidak masuk akal.
-       Pengurusan izin usaha yang acap kali dipersulit.
Sementara itu, di dalam buku saku Memahami Gratifikasi (halaman 19) yang diterbitkan KPK, disebutkan beberapa contoh pemberian sesuatu yang dapat dikategorikan sebagai gratifikasi yang sering terjadi selama ini.
-       Pemberian hadiah atau parsel kepada pejabat pada saat hari raya keagamaan oleh rekanan atau bawahannya.
-       Hadiah atau sumbangan pada saat perkawinan anak dari pejabat dari rekanan kantor pejabat tersebut.
-       Oval: 8Pemberian tiket perjalanan kepada pejabat atau keluarganya untuk keperluannyauntuk keperluan pribadi secara Cuma-Cuma.
-       Pemberian potongan harga khusus (rabat) bagi pejabat atau pembelian barang dari rekanan kantor pejabat.
-       Pemberian biaya atau ongkos naik haji dari rekanan kepada pejabat.
-       Pemberian hadiah ulang tahun atau pada acara-acara pribadi lainnya dari rekanan.
-       Pemberian hadiah atau souvenir kepada pejabat pada saat kunjungan kerja.
-       Pemberian hadiah atau uang sebagai ucapan terimah kasih dari seseorang karena telah dibantu sesuatu hal.
Tata cara pelaporan dan penentuan status ditegaskan dalam Pasal 16 UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) bahwa setiap pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima gratifikasi wajib melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi dengan cara-cara sebagai berikut:
1.    Lamporan disampaikan secara tertulis dengan mengisi formulir sebagaimana ditetapkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dengan melampirkan dokumen yang berkaitan dengan gratifikasi.
2.    Formulir sebagaimana yang dikamsud di atas sekurang-kurangnya memuat:
a.    Nama dan alamat lengkap penerima dan pemberi gratifikasi
b.    Jabatan pegawai negeri atau penyelenggara negara
c.    Tempat dan waktu penerimaan gratifikasi
d.    Uraian jenis gratifikasi yang diterima
e.    Nilai gratifikasi yang diterima
Oval: 9Dengan demikian, laporan gratifikasi wajib dilakukan penerima gratifikasi kepada KPK paling lambat 30 hari kerja sejak tanggal gratifikasi diterima. Jika melewati batas waktu 30 hari kerja sejak menerima gratifikasi, tetapi tidak dilaporkan atau pengaduan dari pihak lain (warga masyarakat atau LSM), maka KPK akan memprosesnya, termasuk memproses pemberi gratifikasi dengan menerapkan pasal lain.
B. Penentuan Status Hukum Gratifikasi
Penentuan status gratifikasi yang dilaporkan oleh penerima gratifikasi kepada KPK secara tegas diatur dalam Pasal 17 UU KPK sebagai berikut. (Marwan Mas, 2014: 83):
1.  Komisi pemberantasan korupsi dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja, terhitung sejak tanggal laporan diterima wajib menetapkan status kepemilikan gratifikasi disertai pertimbangan.
2.  Dalam menentukan status kepemilikan gratifikasi sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) komisi pemberantasan korupsi dapat memanggil penerima gratifikasi untuk memberikan keterangan berkaitan dengan penerimaan gratifikasi.
3.  Status kepemilikan gratifikasi sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) ditetapkan dengan keputusan pimpinan komisi pemberantasan korupsi.
4.  Keputusan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud pada Ayat (3) dapat merupakan penetapan status kepemilikan gratifikasi bagi penerima gratifikasi atau menjadi milik negara.
5.  Komisi Pemberantasan Korupsi wajib menyerahkan keputusan status kepemilikan gratifikasi sebagaimana dimaksud pada Ayat (4) kepada penerima gratifikasi paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal ditetapkan.
6.  Penyerahan gratifikasiyang menjadi milik negara kepada menteri keuangan, dilakukan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal ditetapkannya.
Oval: 10Dari ketentuan Pasal 17 UU KPK memberikan pengaturan bahwa gratifikasi yang diterima oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara harus dilapor kepada KPK selambat-lambatnya 30 hari sejak gratifikasi itu diterima kemudia ditetapkan status gratifikasi tersebut oleh Pimpinan KPK. Dalam menetapkan kepemilikan, ada dua kemungkinan yang bisa menjadi pemilik gratifikasi tersebut, bisa ditetapkan kepemilikan itu diberikan kepada penerima gratifikasi sendiri atau bisa juga diberikan kepada negara dalam hal ini diberikan kepada menteri keuangan negara.
C. Pembuktian Gratifikasi Di Sidang Pengadilan
Mengenai pembuktian gratifikasi di depan sidang pengadilan menurut Pasal 12 B UU Korupsi Tahun 2001 bisa dengan dua cara sebagai berikut. (Marwan Mas, 2014: 84).
1.  Gratifikasi yang nilainya Rp 10 juta atau lebih, dikenakan pembuktian terbalik, yaitu pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi. Dengan demikian, bukan lagi penuntut umum yang harus membuktikan dakwaannya, tetapi penerima gratifikasi yang harus membuktikan dakwaan penuntut umum bahwa itu bukan sebagai gratifikasi.
2.  Gratifikasi yang nilainya kurang dari Rp 10 juta, pembuktiannya bahwa gratifikasi tersebut bukan suap tetap dilakukan oleh penuntut umum sama dengan pembuktian perkara pidana pada umumnya.
Pembuktian terbalik merupakan salah satu pembuktian yang menekankan bahwa terdakwa (penerima gratifikasi) yang harus membuktikan di depan sidang pengadilan bahwa yang diterima itu bukan gratifikasi. Namun, gratifikasi yang dilaporkan kepada KPK sebelum batas waktu 30 hari kerja sejak gratifikasi diterima, tidak akan diproses secara hukum oleh KPK. Artinya, pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima gratifikasi, tetapi dilaporkan kepada KPK sebelum batas waktu yang telah ditentukan di atas, maka tidak akan dijadikan tersangka atau terdakwa. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 12 C Ayat (3) UU Korupsi Tahun 2001 bahwa KPK dalam waktu paling lama 30 hari kerja sejak tanggal menerima laporan, wajib menetapkan bahwa gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau milik negar.
Oval: 11Kemudian dilanjut pada ketentuan Pasal 5 Ayat (1) UU No. 20 Tahun 2001, yang menentukan bahwa “dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000.00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000.00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:
1.  Memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya, atau
2.  Memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
Dari ketentuan Pasal 12 B dan Pasal 5 Ayat (1) menurut hemat penulis, memberikan pengaturan bahwa tidak ada yang bisa lepas dari jeratan sanksi hukum baik yang menerima maupun yang memberi. Artinya apabila yang menerima melaporkan atas apa yang diterimanya kepada KPK dan itu terbukti merupakan gratifikasi maka yang diproses hukum adalah yang memberikan gratifikasi bukan yang menerima. Apalagi jika penerima tidak melaporkan, maka keduanya tentu saja bisa diproses hukum.
Dapat dikatakan bahwa gratifikasi merupakan salah satu model korupsi yang berbentuk suap dalam arti luas, tetapi khusus ditujukan kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara. Selain itu, tindak pidana gratifikasi ancaman hukumannya cukup tinggi, yaitu pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 milliar.
Perlu ditekankan lagi bahwa gratifikasi yang tidak dilaporkan kepada KPK dan kemudian diketahuinya dari laporan masyarakat atau LSM, maka penerima dan pemberi gratifikasi akan diproses secara hukum. Kecuali jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada KPK dalam waktu yang telah ditentukan, maka yang diproses hukum hanyalah yang memberi gratifikasi tersebut.



Oval: 12
 

BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Gratifikasi merupakan bagian dari korupsi yang pada pratiknya banyak terjadi di lingkungan birokrasi oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara. Dalam menjalankan tugas dan kewenangannya banyak terjadi sogok menyogok atau suap yang dilakukan oleh seorang kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara demi memperlancar urusannya.
Gratifikasi pada umumnya adalah sesuatu yang biasa-biasa saja, namun belakangan ini dianggap sebagai suatu tindak pidana akibat banyaknya orang yang mempergunakan pemberian hadiah itu dengan maksud tertentu secara melawan hukum. Gratifikasi yang dapat digolongkan sebagai tindak pidana korupsi, bilamana gratifikasi tersebut diberikan kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang berhubungan dengan jabatannya dan bertentangan dengan kewajibannya.
Gratifikasi yang diterima oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara diharuskan melakukan pelaporan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi. Hal ini bertujuan untuk menentukan status hukum dan kepemilikan dari gratifikasi. Kepemilikan gratifikasi yang ditetapkan oleh pimpinan KPK bisa diberikan kepemilikannya kepada yang menerimanya atau kepada negara melalui menteri keuangan.
Penerima gratifikasi yang melaporkan gratifikasi yang diterimanya dalam jangka waktu yang telah ditentukan dalam undang-undang tidak diproses hukum melainkan yang diproses hukum adalah orang yang memberikan gratifikasi tersebut. Jika gratifikasi yang diterima oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara yang tidak dilaporkan dan diketahui setelah adanya laporan dari masyarakat atau LSM, maka penerima ataupun pemberi gratifikasi akan diproses hukum.



Oval: 13
 

B. Saran
Sejauh ini, dalam perkembangan instansi penegak hukum dalam memperantas korupsi sangat gencar. Komisi Pemberantasan Korupsi semakin berani menindaklanjuti para koruptor tampa melihat dari segi jabatannya. Apalagi KPK dianggap sebagai penegak hukum yang super body. Tugas dan kewenangan KPK yang memiliki banyak kelebihan diibandingkan dengan penegak hukum lain menjadikan KPK semakin banyak mengungkap kasus korupsi. Meskipun KPK selalu ingin dikurangi atau dibatasi kewenangannya dengan merevisi UU KPK.
Sebagai saran, KPK harus mempertahankan dan meningkatkan eksistensinya dalam menegakkan hukum dan memerangi tindak pidana korupsi sebagai instansi yang saat ini dipercaya penuh oleh masyarakat. Dengan berbagai prestasi yang dimilikinya, KPK semakin dikenal dan dipercaya oleh masyarakat sebagai satu-satunya instansi yang bersih dan dapat membersihkan korupsi di negeri ini.
















Oval: 14
 

DAFTAR PUSTAKA
Mas, Marwan. 2014. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Galia             Indonesia. Ciawi-Bogor.
Muladi. 2010. Tindak Pidana Suap sebagai Core Crime Mafia Peradilan    dan Penanggulangannya. Makalah dalam Seminar Nasional “Suap,          Mafia Peradilan, Penegakan Hukum dan Pembaharuan Hukum           Pidana” Kerjasama FH UNDIP dengan KY di Semarang pada          tanggal 10 Maret 2010. Blogspot.com.
Rekti, Ayu Widya. 2009. Memperlurus Makna Gratifikasi. http://rektivoices. wordpress.com /2009/05/25/ diakses pada 20 April 2017.
Oval: 15
 

1 komentar:

  1. Artikel yang cukup bermanfaat dan menambah Ilmu, Kunjungi juga ya www.biologi.uma.ac.id dan www.uma.ac.id

    BalasHapus