TUGAS MID TEST MATA KULIAH TINDAK PIDANA
KORUPSI
Tindak
Pidana Gratifikasi

DISUSUN
OLEH
Nama
: Muh. Syahrul Ago
Nim.
: 45 14 060 002
Fakultas
: Hukum
Kelas
: A/2014
Motto
hidup : “Kebahagiaan Terbesar Dalam Hidup Adalah Ketika Kita Mampu Melakukan
Sesuatu Yang Menurut Orang Tidak Bisa Kita Lakukan”
UNIVERSITAS
BOSOWA MAKASSAR
2017
Kata Pengantar
Bismillahirrohmanirrahim
Assalamu`alaikum
Warahmatullahi Wabarakatu
Dengan mengucapkan rasa
syukur kepada Tuhan yang Maha Esa yang telah melimpahkan segala Rahmat dan
Hidayah-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan tugas makalah Tindak
Pidana Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme dengan judul “Tindak Pidana Gratifikasi”
ini tampa ada hambatan yang begitu sulit. Makalah ini sebagai tugas pengganti
mid test pada mata kuliah Tindak Pidana Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Makalah
ini merupakan usaha keras penulis dari hasil materi kuliah yang materinya
dikutip dari buku dan beberapa sumber bacaan lain kemudian dianalisis secara
matang hingga menghasilkan suatu pemahaman bagi penulis mengenai tindak pidana
gatifikasi yang kemudian dituangkan dalam sebuah makalah.
Di dalam makalah ini
terdapat beberapa pokok bahasan yang penulis akan bahas. Pada bagian pertama
akan dibahas mengenai pengertian, dasar hukum, dan unsur-unsur gratifikasi.
Bagian kedua membahas mengenai pelaporan, penentuan status hukum gratifikasi,
dan pembuktian gratifikasi di sidang pengadilan.
Ahirnya dengan rendah hati,
penulis mengetahui akan banyaknya kekurangan dari makalah ini, maka dari itu penulis
tidak akan berhenti sampai di sini saja untuk terus belajar terhadap semua
persoalan hukum terkhusus mengenai tindak pidana korupsi. Semoga makalah ini
bermanfaat untuk kita semua dan Allah senantiasa memberikan limpahan keberkahan
ilmunya kepada kita semua.
Billahitaufiqi
Walhidayah
Wassalamu`alaikum
Warahmatullahi Wabarakatu.
Makassar, 23 April
2017
Penulis
(Muh. Syahrul Ago)
![]() |
DAFTAR
ISI
Halaman Sampul ................................................................................................... i
Kata Pengantar ...................................................................................................... ii
Daftar Isi .................................................................................................................. iii
BAB I. PEMBAHASAN PERTAMA
A.
Pengertian Gratifikasi ............................................................................... 1
B.
Dasar Hukum Gratifikasi .......................................................................... 3
C.
Unsur-Unsur Gratifikasi ............................................................................ 4
BAB II. PEMBAHASAN KEDUA
A.
Pelaporan Tindak Pidana Gratifikasi......................................................
7
B.
Penentuan Status Hukum Gratifikasi .................................................... 10
C.
Pembuktian Gratifikasi Di Sidang Pengadilan ..................................... 11
BAB III. PENUTUP
A.
Kesimpulan ................................................................................................. 13
B.
Saran ........................................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 15
![]() |
BAB
I
PEMBAHASAN
PERTAMA
A.
Pengertian
Gratifikasi
Gratifikasi merupakan salah
satu bentuk korupsi yang selama ini banyak dipratikkan dalam birokrasi oleh
pegawai negeri dan penyelenggaraan negara, tetapi belum banyak tersentuh hukum.
Padahal dalam realitasnya, banyak mempengaruhi sikap pegawai negeri dan
penyelenggara negara dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya. Pengertian
gratifikasi dalam kamus besar bahasa Indonesia yang disusun oleh W.J.S.
Poerwadarminta (1976: 329) adalah uang hadiahkepada pegawai di luar gaji yang
telah ditentukan. (Marwan Mas, 2014: 77).
Kata gratifikasi menurut
kamus bahasa Belanda adalah “gratificatie”
tetapi kata gratifikasi yang kemudian dijadikan dasar pembentuk
undang-undang merumuskan sebagai salah satu bentuk korupsi, setidaknya mengacu
pada bahasa Inggris, yaitu “gratification”.
Kata tersebut bermakna sebagai pemberian hadiah kepada pegawai negeri ataupun
penyelenggara negara yang meliputi, pemberian uang, barang, rabat (discount),
komisi, pinjaman tampa bunga, dan fasilitas lainnya. (Marwan Mas, 2014: 77).
Jika dimaknai dari
beberapa gambaran mengenai gratifikasi di atas, menurut hemat penulis
gratifikasi dapat dipahami sebagai pemberian hadiah kepada pegawai negeri atau
pejabat penyelenggara negara baik berupa uang, barang, diskon, komisi, pinjaman
tampa bunga, dan fasilitas lainnya di laur daripada gajinya yang telah
ditentukan demi untuk suatu tujuan tertentu. Sudah bukan rahasia lagi, jika
ingin pelayanan yang diberikan berjalan lancar dan sesuai keinginan, harus
adanya suatu pelicin ataupun uang jasa. Jarang sekali tanpa adanya pelicin
ataupun uang jasa ini, pelayanan akan berjalan dengan lancar atau sesuai dengan
keinginan. Tentu saja persoalan semacam ini sudah sering di temukan dalama
kejidupan sehari-hari. Contohnya, apabila ingin mengurus surat-surat di
berbagai instansi atau kantor supaya berjalan lancar maka harus ada pelicin
supaya lebih cepat selesai.
Dalam perkembangannya,
gratifikasi bermakna sebagai sedekah dalam kaitannya dengan pemberian
hadiah yang diterima atau diberikan dengan maksud untuk mempengaruhi pegawai
negeri atau penyelenggara negara secara tidak benar. Definisi gartifikasi ini
konotasinya adalah penyuapan yang pada adanya janji, iming-iming, atau
pemberian keuntungan yang tidak pantas oleh seseorang kepada pejabat atau
pegawai negeri, langsung atau tidak langsung dengan maksud agar pegawai negeri
atau pejabat tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuai dengan tugasnya yang
sah. (Muladi, 2010: 2).
Ditilik secara hukum,
sebenarnya tidak ada masalah dengan gratifikasi. Tindakan ini hanyalah sekadar
suatu perbuatan seseorang memberikan hadiah atau hibah kepada orang lain. Tentu
saja hal tersebut diperbolehkan. Namun, seiring perkembangan waktu, budaya, dan
pola hidup pemberian yang acap disebut gratifikasi mulai mengalami dualisme
makna. Pemberian kepada pejabat pemerintah atau penyelenggara negara selalu
disertai dengan pengharapan untuk memperoleh kemudahan mencapai kesepakatan
dengan pemerintah umumnya dalam bidang pengadaan barang dan jasa. Di sini,
pihak yang diuntungkan di kemudian hari adalah pemberi hadiah. Pada saat tender
misalnya, peserta tender yang pernah memberikan gratifikasi tentu memiliki poin
lebih atau bahkan tertinggi dibanding peserta tender lain. (Widya Ayu Rakti,
2011).
Jika dilihat perkembangan
pada tindak pidana korupsi yang semakin hari semakin komplit dan para
pelakunyapun selalu mencari celah bagaimana supaya undang-undang itu dapat
dimanfaatkan sehingga bisa lari dari jeratan hukumnya. Tindak pidana korupsi
sebagai suatu tindak pidana yang sudah ada sejak dulu sampai sekarang dan terus
mengalami perkembangan dalam berbagai bentuk. Dapat dikatakan bahwa hampir
semua tindak pidana mempunyai hubungan dengan tindak pidana korupsi. Hal itu
dapat dilihat pada proses penyelesaian suatu perkara tindak pidana, di mana suatu
permainan bisa diatur oleh para penegak hukum.
![]() |
B.
Dasar
Hukum Gratifikasi
Adapun dasar hukum
gratifikasi (Marwan Mas, 2014: 78) diatur dalam Pasal 12 B UU Korupsi Tahun
2001 yang dapat dikenakan pembuktian terbalik adalah sebagai berikut:
(1) Setiap
gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian
suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang bertentangan dengan
kewajibannya atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Yang
nilainya Rp 10.000.000 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa
gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi.
b. Yang
nilainya kurang dari Rp 10.000.000 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa
gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.
(2) Pidana
bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagai-mana dimaksud dalam ayat
(1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4
tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000
(dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000 (satu milliar
rupiah).
Penjelasan Pasal 12 B Ayat
(1) : yang dimaksud dengan gratifikasi dalam ayat ini adalah pemberian dalam
arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi,
pinjaman tampa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan
wisata, pengobatan Cuma-Cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut, baik
yang diterima dalam negeri maupun di luar negeri dan atau dilakukan dengan
menggunakan sarana elektronik atau tampa sarana elektronik.
Berdasarkan ketentuan
di atas, penulis ingin mengutarakan pendapat-nya terkait dengan Pasal 12 B Ayat
(1) huruf a dan b mengenai cara pembuktian gratifikasi. Huruf a dan b
disebutkan bahwa jika gratifikasi yang diterima pegawai negeri nilainya Rp 10.000.000
(sepuluh juta rupiah) atau lebih, maka pembuktian bahwa itu bukan suap
dilakukan oleh si penerima gratifikasi. Tetapi, jika nilai gratifikasi yang
diterima kurang dari Rp 10.000.000 (sepuluh juta rupiah), maka pembuktian bahwa
itu bukan suap dilakukan oleh penuntut umum. Beban pembuktian yang dilakukan
oleh penerima gratifikasi sebagaimana yang dimaksud pada huruf a adalah
pembuktian terbalik.
C.
Unsur-Unsur
Gratifikasi
Menyimak ketentuan pada
Pasal 12 B Ayat (1) UU Korupsi Tahun 2001, (Marwan Mas, 2014: 79) maka
unsur-unsur gratifikasi yang termasuk perbuatan melawan hukum adalah sebagai
berikut:
a. Subjek
hukum (pelaku) yang dapat dipidana sebagai penerima gratifikasi adalah pegawai
negeri atau penyelenggara negara. Yang dimaksud dengan pegawai negeri diatur
dalam Pasal 1 butir 2 UU Korupsi, yang meliputi sebagai berikut:
1. Pegawai
negeri sebagaimana yang dimaksud dalam undang-undang tentang kepegawaian.
2. Pegawai
negeri sebagaimana yang dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
3. Orang
yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah.
4. Orang
menerima gaji atau upah dari suatu koorporasi yang menerima bantuan dari
keuangan negara atau daerah.
5. Orang
yang menerima gaji atau upah dari koorporasi lain yang mepergunakan modal dan
fasilitas dari negara atau masyarakat.
Sedangkan yang dimaksud dengan penyelenggara negara
diatur dalam Pasal 1 butir 1 UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara
yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, yaitu penyelenggara
negara adalah pejabat negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, dan
yudikatif dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan
penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Penyelenggara negara
yang bersih ditegaskan dalam Pasal 1 butir 2 UU No. 28 Tahun 2009, yaitu
penyelenggara negara yang menaati asas-asas umum penyelenggaraan negara dan
bebas dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta perbuatan tercela
lainnya. Penyelenggara negara meliputi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 UU
No. 28 Tahun 1999 sebagai berikut:
1. Pejabat
negara pada lembaga tertinggi negara (tidak lagi dikenal istilah ini setelah
empat kali UUD 1945 diamandemen, tetapi hanya disebut lembaga negara.
2. Pejabat
negara pada lembaga tinggi negara.
3. Menteri
4. Gubernur
5. Hakim
6. Pejabat
negara lain sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
7. Pejabat
lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan
negara, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Yang dimaksud dengan gubernur adalah wakil pemerintah
pusat di daerah. Yang dimaksud dengan hakim dalam ketentuan ini meliputi hakim
disemua tingkatan pengadilan. Yang dimaksud dengan pejabat negara yang lain
dalam ketentuan ini misalnya, kepala perwakilan Republik Indonesia di luar
negeri yang berkedudukan sebagai duta besar luar biasa dan berkuasa penuh,
wakil gubernur, dan bupati/walikota, sedangkan yang dimaksud dengan pejabat
lain yang memiliki fungsi strategis adalah pejabat yang tugas dan wewenangnya
dalam melakukan penyelenggaraan negara rawan terhadap praktik KKN yang meliputi
sebagai berikut:
1. Direksi,
komisaris, dan pejabat struktural lainnya pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).
2. Pimpinan
Bank Indonesia dan pimpinan Badan Penyehatan Pebankan Nasional (BPPN).
3.
Pimpinan Perguruang
Tinggi.
Pimpinan Perguruang
Tinggi.
4. Pejabat
esalon I dan pejabat lain yang disamakan di lingkungan sipil, militer, dan
kepolisian Republik Indonesia.
5. Jaksa
6. Penyidik
7. Panitera
pengadilan
8. Pimpinan
dan bedahawan proyek.
b. Gratifikasi
termasuk pemberian suap, merupakan bentuk lain dari korupsi yang dilarang dan
ditujukan secara khusus untuk diterima bagi pegawai negeri atau penyelenggara
negara, sedangkan penerima suap yang bukan pegawai negeri atau pelenggara
negara dapat dikenakan Pasal 5 UU No. 31 Tahun 1999.
c. Berhubungan
dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajibannya dan tugasnya.
Menyimpulkan uraian
unsur-unsur gratifikasi yang telah dijelaskan di atas, penulis dapat menyimpulkan
secara garis besar ada tiga pokok penting dalam unsur yang harus terpenuhi
sehingga dapat dikatakan sebagai gratifikasi diantaranya adalah pegawai negeri
atau penyelenggara negara, menerima hadiah dari orang lain (pemberian hadiah
dalam arti yang luas), dan berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan
kewajiban dan tusanya.
Dalam hemat penulis,
pemberian hadiah bisa saja diterimah oleh pegawai negeri atau penyelenggara
negara asalkan hadiah itu tidak ada hubungannya dengan pekerjaan atau jabatan
yang dipangku-nya. Misalnya, pemberian hadiah pada saat ulang tahun atau acara
pernikahannya yang diberikan oleh saudara atau sahabanya sendiri. Kemudian jika
pemberian hadiah itu dikhawatirkan dianggap sebagai bentuk gratifikasi, maka
sebaiknya hadiah itu dipublikasikan atau dilaporkan kepada pihak yang terkait
dengan itu. Pihak penerima laporan dalam hal ini adalah Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK).
![]() |
BAB
II
PEMBAHASAN
KEDUA
A. Pelaporan Tindak Pidana Gratifikasi
Mengenai pelaporan gratifikasi
yang dilakukan oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara yang telah
menerima gratifikasi merupakan perintah Pasal 12 C Ayat (1) dan Ayat (2) UU No.
20 Tahun 2001. (Marwan Mas, 2014: 81). Artinya, setiap gratifikasi yang
diterima harus dilaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai
berikut:
Pasal 12 C Ayat (1) dan Ayat (2) UU No. 20
Tahun 2001:
(1) Ketentuan
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 12 B Ayat (1) tidak berlaku, jika
penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
(2) Menyampaikan
laporan sebagaimana yang dimaksud dalam Ayat (1) wajib dilakukan oleh penerima
gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal
gratifikasi tersebut diterima.
Berdasarkan
pengalaman yang acap kali ditemui, (Marwan Mas, 2014: 81) terdapat beberapa
contoh kasus yang dapat digolongkan sebagai gratifikasi.
-
Pembiayaan kunjungan kerja lembaga
legislatif, karena hal ini dapat mempengaruhi legislasi dan implementasinya.
-
Cinderamata bagi guru (PNS) setelah pembagian
rapor atau kelulusan.
-
Pungutan liar di jalan raya dan tidak
disertai tanda bukti dengan tujuan sumbangan yang jelas, oknum yang terlibat
bisa jadi dari petugas kepolisian (polisi lalu lintas), retribusi (dinas
pendapatan daerah), lalu lintas angkatan jalan raya (LLAJR), dan masyarakat
(preman). Apabila kasus ini terjadi, maka KPK selalu menyarangkan agar laporan
dipublikasikan oleh media massa dan dilakukan penindakan tegas terhadap pelaku.
-
Penyediaan biaya
tambahan (fer), misalnya antara 10-20
persen dari nilai proyek.
Penyediaan biaya
tambahan (fer), misalnya antara 10-20
persen dari nilai proyek.
-
Uang retribusi untuk masuk pelabuhan tampa
tiket yang dilakukan oleh instansi pelabuhan, dinas perhubungan, dan dinas
endapatan daerah.
-
Parsel ponsel canggih keluaran terbaru dari
pengusaha kepada pejabat negara atau daerah.
-
Perjalanan usaha bagi kepala daerah menjelan
akhir jabatan.
-
Pembangunan tempat ibadah di kantor
pemerintah (karena biasanyasudah tersedia anggaran untuk pembanguan tempat
ibadah, di mana anggaran tersebut harus dipergunakan sesuai dengan pos anggaran
dan keperluan tambahan dana dapat menggunakan kotak amal).
-
Hadiah pernikahan untuk keluarga pegawai
negeri sipil atau penyelenggara negara yang melewati batas kewajaran, baik
nilai ataupun harganya.
-
Pengurusan Kartu Tanda Penduduk (KTP), Surat
Izin Mengemudi (SIM), paspor yang dipercepat dengan membayar uang tambahan atau
pelicin.
-
Mensponsori konfrensi internasional tampa
menyebutkan biaya perjalanan yang transparan dan kegunaannya, adanya penerimaan
ganda dengan jumlah yang tidak masuk akal.
-
Pengurusan izin usaha yang acap kali
dipersulit.
Sementara
itu, di dalam buku saku Memahami
Gratifikasi (halaman 19) yang diterbitkan KPK, disebutkan beberapa contoh
pemberian sesuatu yang dapat dikategorikan sebagai gratifikasi yang sering
terjadi selama ini.
-
Pemberian hadiah atau parsel kepada pejabat
pada saat hari raya keagamaan oleh rekanan atau bawahannya.
-
Hadiah atau sumbangan pada saat perkawinan
anak dari pejabat dari rekanan kantor pejabat tersebut.
-
Pemberian tiket
perjalanan kepada pejabat atau keluarganya untuk keperluannyauntuk keperluan
pribadi secara Cuma-Cuma.
Pemberian tiket
perjalanan kepada pejabat atau keluarganya untuk keperluannyauntuk keperluan
pribadi secara Cuma-Cuma.
-
Pemberian potongan harga khusus (rabat) bagi
pejabat atau pembelian barang dari rekanan kantor pejabat.
-
Pemberian biaya atau ongkos naik haji dari
rekanan kepada pejabat.
-
Pemberian hadiah ulang tahun atau pada
acara-acara pribadi lainnya dari rekanan.
-
Pemberian hadiah atau souvenir kepada pejabat
pada saat kunjungan kerja.
-
Pemberian hadiah atau uang sebagai ucapan
terimah kasih dari seseorang karena telah dibantu sesuatu hal.
Tata
cara pelaporan dan penentuan status ditegaskan dalam Pasal 16 UU No. 30 Tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) bahwa setiap pegawai negeri
atau penyelenggara negara yang menerima gratifikasi wajib melaporkan kepada
Komisi Pemberantasan Korupsi dengan cara-cara sebagai berikut:
1.
Lamporan disampaikan secara tertulis dengan
mengisi formulir sebagaimana ditetapkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi
dengan melampirkan dokumen yang berkaitan dengan gratifikasi.
2.
Formulir sebagaimana yang dikamsud di atas
sekurang-kurangnya memuat:
a. Nama
dan alamat lengkap penerima dan pemberi gratifikasi
b. Jabatan
pegawai negeri atau penyelenggara negara
c. Tempat
dan waktu penerimaan gratifikasi
d. Uraian
jenis gratifikasi yang diterima
e. Nilai
gratifikasi yang diterima
Dengan demikian,
laporan gratifikasi wajib dilakukan penerima gratifikasi kepada KPK paling
lambat 30 hari kerja sejak tanggal gratifikasi diterima. Jika melewati batas
waktu 30 hari kerja sejak menerima gratifikasi, tetapi tidak dilaporkan atau
pengaduan dari pihak lain (warga masyarakat atau LSM), maka KPK akan
memprosesnya, termasuk memproses pemberi gratifikasi dengan menerapkan pasal
lain.
B. Penentuan Status Hukum Gratifikasi
Penentuan status gratifikasi
yang dilaporkan oleh penerima gratifikasi kepada KPK secara tegas diatur dalam
Pasal 17 UU KPK sebagai berikut. (Marwan Mas, 2014: 83):
1. Komisi
pemberantasan korupsi dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja,
terhitung sejak tanggal laporan diterima wajib menetapkan status kepemilikan
gratifikasi disertai pertimbangan.
2. Dalam
menentukan status kepemilikan gratifikasi sebagaimana dimaksud pada Ayat (1)
komisi pemberantasan korupsi dapat memanggil penerima gratifikasi untuk
memberikan keterangan berkaitan dengan penerimaan gratifikasi.
3. Status
kepemilikan gratifikasi sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) ditetapkan dengan
keputusan pimpinan komisi pemberantasan korupsi.
4. Keputusan
Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud pada Ayat (3) dapat
merupakan penetapan status kepemilikan gratifikasi bagi penerima gratifikasi
atau menjadi milik negara.
5. Komisi
Pemberantasan Korupsi wajib menyerahkan keputusan status kepemilikan
gratifikasi sebagaimana dimaksud pada Ayat (4) kepada penerima gratifikasi
paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal ditetapkan.
6. Penyerahan
gratifikasiyang menjadi milik negara kepada menteri keuangan, dilakukan paling
lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal ditetapkannya.
Dari ketentuan Pasal
17 UU KPK memberikan pengaturan bahwa gratifikasi yang diterima oleh pegawai
negeri atau penyelenggara negara harus dilapor kepada KPK selambat-lambatnya 30
hari sejak gratifikasi itu diterima kemudia ditetapkan status gratifikasi
tersebut oleh Pimpinan KPK. Dalam menetapkan kepemilikan, ada dua kemungkinan
yang bisa menjadi pemilik gratifikasi tersebut, bisa ditetapkan kepemilikan itu
diberikan kepada penerima gratifikasi sendiri atau bisa juga diberikan kepada
negara dalam hal ini diberikan kepada menteri keuangan negara.
C. Pembuktian Gratifikasi Di Sidang
Pengadilan
Mengenai pembuktian
gratifikasi di depan sidang pengadilan menurut Pasal 12 B UU Korupsi Tahun 2001
bisa dengan dua cara sebagai berikut. (Marwan Mas, 2014: 84).
1. Gratifikasi
yang nilainya Rp 10 juta atau lebih, dikenakan pembuktian terbalik, yaitu
pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan suap dilakukan oleh penerima
gratifikasi. Dengan demikian, bukan lagi penuntut umum yang harus membuktikan
dakwaannya, tetapi penerima gratifikasi yang harus membuktikan dakwaan penuntut
umum bahwa itu bukan sebagai gratifikasi.
2. Gratifikasi
yang nilainya kurang dari Rp 10 juta, pembuktiannya bahwa gratifikasi tersebut
bukan suap tetap dilakukan oleh penuntut umum sama dengan pembuktian perkara
pidana pada umumnya.
Pembuktian terbalik
merupakan salah satu pembuktian yang menekankan bahwa terdakwa (penerima
gratifikasi) yang harus membuktikan di depan sidang pengadilan bahwa yang
diterima itu bukan gratifikasi. Namun, gratifikasi yang dilaporkan kepada KPK
sebelum batas waktu 30 hari kerja sejak gratifikasi diterima, tidak akan
diproses secara hukum oleh KPK. Artinya, pegawai negeri atau penyelenggara
negara yang menerima gratifikasi, tetapi dilaporkan kepada KPK sebelum batas
waktu yang telah ditentukan di atas, maka tidak akan dijadikan tersangka atau
terdakwa. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 12 C Ayat (3) UU Korupsi Tahun 2001
bahwa KPK dalam waktu paling lama 30 hari kerja sejak tanggal menerima laporan,
wajib menetapkan bahwa gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau milik
negar.
Kemudian dilanjut
pada ketentuan Pasal 5 Ayat (1) UU No. 20 Tahun 2001, yang menentukan bahwa
“dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5
(lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000.00 (lima puluh
juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000.00 (dua ratus lima puluh juta
rupiah) setiap orang yang:
1. Memberikan
atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan
maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau
tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya,
atau
2. Memberi
sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan
dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya, dilakukan atau tidak
dilakukan dalam jabatannya.
Dari ketentuan Pasal 12 B
dan Pasal 5 Ayat (1) menurut hemat penulis, memberikan pengaturan bahwa tidak
ada yang bisa lepas dari jeratan sanksi hukum baik yang menerima maupun yang
memberi. Artinya apabila yang menerima melaporkan atas apa yang diterimanya
kepada KPK dan itu terbukti merupakan gratifikasi maka yang diproses hukum
adalah yang memberikan gratifikasi bukan yang menerima. Apalagi jika penerima
tidak melaporkan, maka keduanya tentu saja bisa diproses hukum.
Dapat dikatakan bahwa
gratifikasi merupakan salah satu model korupsi yang berbentuk suap dalam arti
luas, tetapi khusus ditujukan kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara.
Selain itu, tindak pidana gratifikasi ancaman hukumannya cukup tinggi, yaitu
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan
paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling
banyak Rp 1 milliar.
Perlu ditekankan lagi bahwa
gratifikasi yang tidak dilaporkan kepada KPK dan kemudian diketahuinya dari
laporan masyarakat atau LSM, maka penerima dan pemberi gratifikasi akan
diproses secara hukum. Kecuali jika penerima melaporkan gratifikasi yang
diterimanya kepada KPK dalam waktu yang telah ditentukan, maka yang diproses
hukum hanyalah yang memberi gratifikasi tersebut.
![]() |
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Gratifikasi merupakan bagian
dari korupsi yang pada pratiknya banyak terjadi di lingkungan birokrasi oleh
pegawai negeri atau penyelenggara negara. Dalam menjalankan tugas dan
kewenangannya banyak terjadi sogok menyogok atau suap yang dilakukan oleh
seorang kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara demi memperlancar
urusannya.
Gratifikasi pada umumnya
adalah sesuatu yang biasa-biasa saja, namun belakangan ini dianggap sebagai
suatu tindak pidana akibat banyaknya orang yang mempergunakan pemberian hadiah
itu dengan maksud tertentu secara melawan hukum. Gratifikasi yang dapat
digolongkan sebagai tindak pidana korupsi, bilamana gratifikasi tersebut diberikan
kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang berhubungan dengan
jabatannya dan bertentangan dengan kewajibannya.
Gratifikasi yang diterima
oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara diharuskan melakukan pelaporan
kepada Komisi Pemberantasan Korupsi. Hal ini bertujuan untuk menentukan status
hukum dan kepemilikan dari gratifikasi. Kepemilikan gratifikasi yang ditetapkan
oleh pimpinan KPK bisa diberikan kepemilikannya kepada yang menerimanya atau
kepada negara melalui menteri keuangan.
Penerima gratifikasi yang
melaporkan gratifikasi yang diterimanya dalam jangka waktu yang telah
ditentukan dalam undang-undang tidak diproses hukum melainkan yang diproses
hukum adalah orang yang memberikan gratifikasi tersebut. Jika gratifikasi yang
diterima oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara yang tidak dilaporkan
dan diketahui setelah adanya laporan dari masyarakat atau LSM, maka penerima
ataupun pemberi gratifikasi akan diproses hukum.
![]() |
B. Saran
Sejauh ini, dalam
perkembangan instansi penegak hukum dalam memperantas korupsi sangat gencar.
Komisi Pemberantasan Korupsi semakin berani menindaklanjuti para koruptor tampa
melihat dari segi jabatannya. Apalagi KPK dianggap sebagai penegak hukum yang super
body. Tugas dan kewenangan KPK yang memiliki banyak kelebihan diibandingkan
dengan penegak hukum lain menjadikan KPK semakin banyak mengungkap kasus
korupsi. Meskipun KPK selalu ingin dikurangi atau dibatasi kewenangannya dengan
merevisi UU KPK.
Sebagai saran, KPK harus
mempertahankan dan meningkatkan eksistensinya dalam menegakkan hukum dan
memerangi tindak pidana korupsi sebagai instansi yang saat ini dipercaya penuh
oleh masyarakat. Dengan berbagai prestasi yang dimilikinya, KPK semakin dikenal
dan dipercaya oleh masyarakat sebagai satu-satunya instansi yang bersih dan
dapat membersihkan korupsi di negeri ini.
![]() |
DAFTAR
PUSTAKA
Mas, Marwan. 2014. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Galia Indonesia. Ciawi-Bogor.
Muladi. 2010. Tindak Pidana Suap sebagai
Core Crime Mafia Peradilan dan
Penanggulangannya. Makalah dalam Seminar Nasional “Suap, Mafia Peradilan, Penegakan Hukum dan
Pembaharuan Hukum Pidana”
Kerjasama FH UNDIP dengan KY di Semarang pada tanggal
10 Maret 2010. Blogspot.com.
Rekti, Ayu Widya.
2009. Memperlurus Makna Gratifikasi. http://rektivoices. wordpress.com /2009/05/25/ diakses pada 20 April 2017.
![]() |








Artikel yang cukup bermanfaat dan menambah Ilmu, Kunjungi juga ya www.biologi.uma.ac.id dan www.uma.ac.id
BalasHapus