Rabu, 11 Oktober 2017

Makalah Peradilan Agama.

TUGAS HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA
Tinjauan Sosio-Yuridis Atas Penetapan Wali Adhal Oleh Hakim Pengadilan Agama Terhadap Wali Nasab Yang Tidak
Memberikan Hak Perwaliannya.

(Analisis Penetapan No. 82/Pdt.P/2016/PA.Sgm Pengadilan Agama 
Sungguminasa Tentang Permohonan Penetapan Wali Adhal
Oleh Ariana Rukka Binti Syaiful Bachri Rukka)

Motto Hidup: “Kebahagiaan Terbesar Dalam Hidup Adalah Ketika Kita Mampu 
Melakukan Sesuatu Yang Menurut Orang
Tidak Mampu Kita Lakukan”

DISUSUN OLEH:
NAMA : MUH. SYAHRUL AGO
NIM : 45 14 060 002
FAK. : HUKUM

UNIVERSITAS BOSOWA MAKASSAR
2017
KATA PENGANTAR
Assalamu`alaikum Warahmatullahi Wabarakatu
Dengan mengucapkan rasa syukur kepada Tuhan yang Maha Esa yang telah melimpahkan segala Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah “Hukum Acara Peradilan Agama dengan judul Tinjauan Sosio-Yuridis Atas Penetapan Wali Adhal Oleh Hakim Pengadilan Agama Terhadap Wali Nasab Yang Tidak Memberikan Hak Perwaliannya (Analisis Penetapan No. 82/Pdt.P/2016/PA.Sgm Pengadilan Agama Sungguminasa Tentang Permohonan Penetapan Wali Adhal Oleh Ariana Rukka Binti Syaiful Bachri Rukka)” ini tampa ada hambatan yang begitu sulit.
Makalah ini merupakan usaha keras penulis dari pemaparan materi kuliah, bahan bacaan, dan hasil analisis Penetapan No. 82/Pdt.P/2016/PA.Sgm. Pengadilan Agama Sungguminasa yang penulis bahas dan komparasikan antara teori hukumnya, praktiknya, dan penerimaannya di dalam masyarkat kemudian dituangkan ke dalam suatu tugas makalah.
Ahirnya dengan rendah hati, penulis mengetahui akan adanya kekurangan dari makalah ini, maka dari itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak demi kesempurnaan ilmu kita masing-masing sebagai mahasiswa yang cerdas. Semoga makalah ini bermanfaat untuk kita semua dan Allah senantiasa memberikan limpahan keberkahan ilmunya kepada kita semua, Insya Allah. Amin.
Billahitaufiqi Wal Hidayah
Wassalamu`alaikum Warahmatullahi Wabarakatu.
   

Makassar, 20 Mei 2017          
Penulis            

 

(Muh. Syahrul Ago)   




 



DAFTAR ISI

Halaman Sampul .......................................................................................................  i
Kata Pengantar ..........................................................................................................  ii
Daftar Isi ...................................................................................................................  iii

BAB I. PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah ................................................................................  1
B.     Rumusan Masalah .........................................................................................  2
C.     Tujuan Penulisan ...........................................................................................  2

BAB II. TINJAUN PUSTAKA
A.    Pengertian Sosio-Yuridis ..............................................................................  3
B.     Pengertian Dan Macam-Macam Wali Dalam Pernikahan .............................  4
C.     Keutamaan Wali Nasab Dari Wali Lainnya Dalam Pernikahan ....................  5
D.    Analisis Penetapan Hakim Pengadilan Agama Sungguminasa .....................  7

BAB III. PENUTUP
A.    Kesimpulan ...................................................................................................  14
B.     Saran .............................................................................................................  14

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................  15




 BAB I

PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang Masalah
Seiring dengan perkembangan zaman, persoalan dalam perkawinan semakin rumit dengan berbagai kompleksitas masyarakat yang berbeda pandangan dan kemunculan berbagai faham-faham baru. Salah satu permasalah yang sering timbul dikalangan orang-orang muslim adalah persoalan perkawinan yang beda agama. Padahal, baik dalam peraturan perundang-undangan apalagi dalam hukum Islam, pernikahan beda agama tidak diperbolehkan. Di sisi lain, perkawinan juga sering kali terhalang oleh beberapa persoalan seperti persamaan atau kesetaraan derajat, faktor sosial, pendidikan, dan lain sebagainya. Tidak bisa dipungkiri bahwa di Indonesia adalah negara yang banyak suku, agama, ras, dan budaya. Seperti di Makassar contohnya, kadang-kadang perkawinan tertunda atau bahkan batal disebabkan oleh “uang panai” yang tidak mampu disanggupi oleh mempelai laki-laki. Padahal, dalam perkawinan Islam “uang panai” bukan syarat sahnya perkawinan. “Uang panai” sesungguhnya hanyalah hadiah kepada mempelai perempuan namun telah dibudayakan di kalangan masyarakat Bugis Makassar sebagai sesuatu yang harus ada.
Dewasa ini sering dijumpai berbagai permasalahan tentang status hukum dari hal-hal yang kontemporer antara lain adalah hukum wali hakim dalam pernikahan, hukum nikah mut’ah dan juga hukum status anak zina yang kini semakin meradang pada masyarakat. Hal demikian disebabkan tidak terlepas dari persoalan yang seperti yang disebutkan sebelumnya. Sebenarnya jika dilihat dari sejarah perkembangan perkawinan Islam, sudah sejak zaman Rasulullah SAW dikenal adanya wali selain wali nasab dalam pernikahan. Pada masa itu, pengangkatan wali selain wali nasab dalam pernikahan juga disebabkan oleh beberapa faktor, contohnya anak angkat yang diasuh oleh orang kaya yang sejatinya wali nasab perempuan tersebut ketika melakukan pernikahan adalah ayah kandungnya.
Sudah sering terdengar perbedaan dalam penentuan status hukum dari ketiga wali nikah tersebut dari mulai ulama yang satu dengan yang lain mempunyai dalil dan pedoman yang berbeda untuk menentukan hukumnya. Dalam pernikahan, adanya wali dan mempelai perempuan adalah penting karena salah satu termasuk hukum nikah. Apabila dalam prosesi pernikahan tidak adanya wali maka perkawinan tersebut tidak sah. Jumhur Ulama’ diantaranya Imam malik Assyafi’I, Ats Tsauri dan Al Laits bin Saad berpendapat bahwa wali dalam pernikahan adalah ashabah bukan paman dan bukan saudara seibu dan bukan ahwalil arham lainnya. Kata Imam SyAfi’I pernikahan seorang perempuan Tidak sah kecuali apabila dinikahkan oleh wali aqrob (dekat). Kalau tidak ada wali aqrob maka dinikahkan oleh wali abad (jauh) kalau tidak ada maka dinikahkan oleh penguasa (wali Hakim). (Qurrota A’yun Fatkhi, 2012).
Persoalan permohonan penetapan wali hakim pada pengadilan agama sebetulnya bukan suatu larangan bagi orangi Islam yang ingin melaksanakan perkawinannya. Sama seperti pada kasus Ahriana Rukka Binti Syaiful Bchri Rukka yang tidak mendapatkan persetujuan kawin dari ayahnya sebagai wali nasabnya disebabkan oleh faktor ketidaksederajatan dalam strata sosial dan faktor pekerjaan. Fenomena-fenomena seperti ini merupakan sesuatu yang tidak masuk dalam ajaran Islam. Permasalahan ketidaksetaraan strata sosial dan pekerjaan bukan suatu alasan yang dapat dipertahankan dalam ajaran Islam sebab Islam tidak mengenal itu.

B.       Perumusan Masalah
Adapun perumusan masalahnya adalah sebagai berikut:
1.      Bagaimanakah konsekuensi hukumnya apabila wali nasab menolak hak perwaliannya dengan alasan ketidaksederajatan dalam sosial ?
2.      Bagaimanakah status hukum pernikahan Ahriana Rukka Binti Syaiful Bachri Rukka dengan Tami Sanjaya Bin Muntu Dg. Tulung yang tidak mendapatkan persetujuan perwalian ?

C.      Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan ini adalah sebagai berikut:
1.      Dapat memahami tentang hukum perkawinan pada umumnya dan hukum perwalian dalam perkawinan pada khususnya.
2.      Sebagai tugas dalam mata kuliah hukum acara peradilan agama.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.      Pengertian Sosio-Yuridis
Sosiologi hukum merupakan cabang ilmu yang termuda dari cabang ilmu yang lain, hal itu tampak pada hasil karya tentang sosiologi hukum yang hingga saat ini masih sangat sedikit. Sosiologi hukum merupakan suatu cabang ilmu pengetahuan yang antara lain mengapa manusia patuh pada hukum dan mengapa dia gagal untuk menaati hukum serta faktor-faktor sosial lain yang mempenga-ruhinya. (Sirajuddin, 2016: 9).
Wignjosoebroto berpendapat bahwa sosiologi hukum adalah salah satu bahan kajian sosiologi yang termasuk pada keluarga ilmu pengetahuan sosial dan cabang kajian tentang kehidupan bermasyarakat manusia pada umumnya yang berperhatian kepada upaya-upaya manusia yang menegakkan dan mensejahterah-kan kehidupannya serta mempunyai kekhususan yang berbeda dengan kajian pada cabang-cabang sosiologi yang lain. (Sabian Utsman, 2009: 115).
Satjipto Rahardjo juga berpendapat bahwa dalam mengemukakan batasan tentang sosiologi hukum yaitu sosiologi hukum (sociology of law) adalah pengetahuan hukum pada pola perilaku masyarakat dalam konteks sosialnya (Satjipto Rahardjo, 2007: 1).
Pengertian sosiologi hukum ini bertujuan untuk menganalisa bagaimana jalannya suatu hukum dalam masyarakat yang merupakan hal utama bagi para pengguna hukum dalam suatu masyarakat. Menurut hemat penulis, seperti yang sering di suarakan oleh para pemerhati hukum bahwa sesungguhnya hukum itu dibuat untuk manusia atau masyarakat dan bukan hukum untuk hukum itu sendiri. Pernyataan tersebut menggambarkan bahwa sesungguhnya hukum itu tidak ada artinya tampa ada peran serta dari masyarakat untuk mematuhi hukum. Hal ini yang membuat perlunya mempelajari tentang sosiologi hukum untuk mengetahui bagaimana hukum itu bekerja secara efektif dalam kehidupan masyarakat.
Dengan demikian, dalam upaya pembangunan sistem hukum harus memperhatikan kebiasaan-kebiasaan yang hidup dalam masyarakat karena jika pemberlakuan hukum positif di dalam masyarakat tidak sejalan dengan kebiasaan-kebiasaan tersebut, maka dapat dipastikan bahwa hukum positif atau undang-undang tersebut tidak dapat berjalan dengan efektif. Sebagaimana pemahaman penulis tentang keefektifan hukum yang di gambarkan dari beberapa pandangan ahli bahwa hukum hanya bisa efektif apabila didukung oleh subtansi undang-undang yang baik, aparatur penegak hukum yang baik, dan penerimaan hukum oleh masyarakat yang baik pula.

B.       Pengertian Dan Macam-Macam Wali Dalam Pernikahan
Berbicara masalah perwalian dalam Islam terbagi menjadi 3. (Hakam Abbas, 2014). Diriwayatkan suatu hadist dari Abu Hurairah RA, katanya Rasulullah SAW bersabda : “Seorang wanita tidak boleh mengawinkan seorang wanita dan tidak pula mengawinkan dirinya”. (HR. Daruqutni). Dari hadist di atas memberikan batasan bahwa dalam melangsungkan pernikahan, seorang perempuan sama sekali tidak bisa menjadi wali nikah atasperempuan yang lain dan tidak pula bisa menikahkan dirinya sendiri.
Seperti yang telah dikemukakan di atas bahwa wali nikah dibagi menjadi tiga bagian yaitu wali nasab, wali hakim, dan wali muhakam. Wali nasab adalah orang-orang yang terdiri dari keluarga calon mempelai wanita yang berhak menjadi wali nikahnya menurut urutan sederahnanya, seperti ayah kandung, kakek dari ayah, saudara kandung laki-laki, paman dari keluarga ayah, anak laki-laki saudara ayah, dan seterusnya. Nasab dalam doktrinal dan hukum Islam merupakan sesuatu yang sangat urgen, nasab merupakan nikmat yang paling besar yang diturunkan oleh Allah SWT kepada hamba-Nya. (Hedra Prasetya, 2010).
Wali Hakim maksudnya adalah orang yang diangkat oleh pemerintah (Menteri Agama) yang bertindak sebagai wali dalam suatu pernikahan. Dalam Peraturan Menteri Agama (PMA) No. 2 tahun 1987 orang yang ditunjuk menjadi wali hakim adalah Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan. Calon mempelai wanita yang boleh meminta wali hakim jika dalam kondisi tidak memiliki wali nasab sama sekali, Wali hilang tidak tahu keberadaannya, Wali jauh sejauh minimal 92,5 km, Wali dalam penjara/tahanan yang tidak boleh dijumpai, Wali sedang melakukan ibada haji atau umrah. Jika dalam salah satu kondisi di atas, maka yang berhak untuk menjadi wali dalam perkawinan tersebut adalah wali hakim. (Hakam Abbas, 2014).
Wali Muhakam adalah orang yang diangkat oleh kedua calon suami istri untuk bertindak sebagai wali dalam akad nikah mereka, yang mana kondisi seharusnya dilaksanakan dengan wali hakim tetapi tempat tersebut tidak ada wali hakimnya maka pernikahan boleh dilangsungkan dengan wali muhakam. (Hakam Abbas, 2014).

C.      Keutamaan Wali Nasab Dari Wali Lainnya Dalam Pernikahan
Dalam perkawinan bagi orang Islam, perempuan sangat dianjurkan diwalikan oleh wali nasabnya, sebagaimana yang telah dijelaskan di atas tentang siapa saja yang termasuk dalam golongan wali nasab. Wali nasab begitu pentingnya, apalagi yang paling diutamakan adalah ayah kandungnya sudah banyak dijelaskan dalam beberapa ayat dalam Al-Qur`an dan Hadist. Hal demikian menandakan bahwa keutamaan wali nasab lebih dari wali yang lainnya.
Nasab adalah legalitas hubungan kekeluargaan yang berdasarkan pertalian darah, sebagai salah satu akibat dari pernikahan yang sah, atau nikah fasid, atau senggama syubhat (zina). Nasab merupakan sebuah pengakuan syara’ bagi hubungan seorang anak dengan garis keturunan ayahnya sehingga dengan itu anak tersebut menjadi salah seorang anggota keluarga dari keturunan itu dan dengan demikian anak itu berhak mendapatkan hak-hak sebagai akibat adanya hubungan nasab. Seperti hukum waris, pernikahan, perwalian dan lain sebagainya. (Hendra Prasetya, 2010).
Seseorang boleh menasabkan dirinya kepada seseorang atau ayahnya apabila sudah terpenuhi syarat-syaratnya, adapun syarat-syaratnya adalah sebagaimana berikut (Abdul Karim Zaidan, 1993: 321);
1.      Seorang anak yang lahir dari seorang perempuan memang benar-benar hasil perbuatannya dengan suaminya.
2.      Ketika perempuan hamil, waktunya tidak kurang dari waktu kehamilan pada umumnya.
3.      Suami tidak mengingkari anak yang lahir dari istrinya.
Salah satu bukti bahwa nasab adalah hal yang sangat penting bisa dilihat dalam sejarah Islam, ketika Nabi Muhammad SAW mengangkat seorang anak yang bernama Zaid bin Haritsah sebelum kenabian. Kemudian anak tersebut oleh orang-orang dinasabkan kepada Nabi Muhammad SAW, sehingga mereka mendapatkan teguran dari Allah SWT. Dalam al-Qur’an surat al-Ahzab ayat 4 -5 yang berbunyi sebagai berikut (Hendra Prasetya, 2010):

مَا جَعَلَ اللَّهُ لِرَجُلٍ مِنْ قَلْبَيْنِ فِي جَوْفِهِ وَمَا جَعَلَ أَزْوَاجَكُمُ اللَّائِي تُظَاهِرُونَ مِنْهُنَّ أُمَّهَاتِكُمْ وَمَا جَعَلَ أَدْعِيَاءَكُمْ أَبْنَاءَكُمْ ذَلِكُمْ قَوْلُكُمْ بِأَفْوَاهِكُمْ وَاللَّهُ يَقُولُ الْحَقَّ وَهُوَ يَهْدِي السَّبِيلَ ادْعُوهُمْ لِآَبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ فَإِنْ لَمْ تَعْلَمُوا آَبَاءَهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُمْ بِهِ وَلَكِنْ مَا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا (QS. Al-Ahzab : 4-5).

Allah sekali-sekali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hatidalam rongganya; dan dia tidak menjadikan isteri-isterimu yang kamu dzibar itu sebagai ibumu, dan dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak-anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulut saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya. Dan dia menunjukkan jalan (yang benar). Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil pada sisi allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka maka (panggillah) mereka sebagai) saudara-sauadaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf kepadanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah maha pengampun lagi maha penyayang.”
Dalam ayat di atas dijelaskan bahwa anak angkat tidak dapat menjadi anak kandung, ini dipahami dari lafaz “wa maja‘ala ad‘iya-akum abna-akum”. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya Tafsir Qura’n Al-Adzim, di sana dijelaskan bahwasanya yang dimaksud dalam kalimat “Wa ma Ja’ala Ad’iyaakum Abnaukum” adalah bahwasanya anak angkat tidak bisa dinasabkan kepada ayah yang mengangkatnya. (Ibnu Katsir Tafsir Qur’an Al-Adzim jil).
Dan kemudian dijelaskan bahwa anak angkat tetap dinasabkan kepada ayah kandungnya, bukan kepada bapak angkatnya. Ini dipahami dari lafaz “ud‘uhum li abaihim.“ (Imam Thabari, 2007: 6612). Dalam sebuah hadist Nabi Muhammad SAW bersabda:
عَنْ سَعْدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ ادَّعَى إِلَى غَيْرِ أَبِيهِ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ غَيْرُ أَبِيهِ فَالْجَنَّةُ عَلَيْهِ حَرَامٌ
“Barang siapa menisbatkan dirinya kepada selain ayah kandungnya padahal ia mengetahui bahwa itu bukanlah ayah kandungnya, maka diharamkan baginya surga”.
Dalam hadist di atas dijelaskan bahwa, seseorang tidak boleh menasabkan dirinya kepada selain ayah kandungnya, apabila ia tahu siapa ayahnya. Hal ini dipahami dari lafaz “fal jannatu „alaihi haramumOrang yang tidak boleh masuk surga adalah orang yang berdosa. Jadi apabila seseorang menasabkan dirinya kepada selain ayah kandungnya, sedangkan dia tahu bahwa itu bukan ayahnya maka dia termasuk orang yang berdosa, sehingga diharamkan untuknya surga. Islam tidak pernah mengakui status anak angkat yang berubah menjadi anak kandung secara hukum. Tabanni atau mengangkat anak memang tidak pernah dibenarkan dalam Islam. (Hendra Prasetta, 2010).
Dari uraian di atas tergambar bahwa betapa perlunya wali nasab dalam pernikahan seorang perempuan, terutamah perwalian dari seorang ayah kandung. Meskipun pada kenyataannya sekarang pengangkatan wali selain wali nasab begitu sangat mudah dikalangan masyarakat awam tengtang hukum Islam. Bahkan perwaliaannya diserahkan begitu saja kepada pihak lain yang pada alasannya banyak wali nasab merasa takut salah atau karena alasan lain.

D.      Analisis Penetapan Pengadilan Agama Sungguminasa
1.      Posisi Kasus
Cerita bermula saat Ahriana Rukka Binti Bachri Rukka atau sebut saja Ahriana bepcaran dengan Tami Sanjaya Bin Muntu Dg. Tulung atau sebut saja Tami. Ahriana dan Tami sudah berpacaran sejak kurang lebih satu tahun hingga akhirnya mereka berniat untuk melanjutkan hubungannya ke dalam ikatan pernikahan mengingat hubungan mereka sudah sedemikian eratnya dan sangat sulit untuk dipisahkan lagi. Untuk melanjutkan niatnya, Tami meminang Ahriana dan pinangan pertamanya diterima oleh ibunya, tetapi pada saat itu belum dibicarakan masalah uang belanja karena ayah Ahriana, Syaiful Bachri Rukka Bin Salim Rukka sedang dinas di Jakarta.
Setelah beberapa waktu kemudian, Tami dan keluarganya melakukan lamaran lagi untuk kedua kalinya. Akan tetapi, lamaran Tami ditolak oleh ayah Ahriana disebabkan karena alasan tidak sederajat, belum punya kerjaan, dan anaknya Ahriana suka kepada Tami karena alasan guna-guna. Begitupula lamaran ketiga, ayah Ahriana tetap menolak lamaran Tami dengan alasan yang sama. Berkali-kali pihak keluarga Tami berusaha keras melakukan pendekatan kepada orang tua Ahriana agar menerima lamaran dan menikahkan Ahriana dengan Tami, akan tetapi ayah Ahriana sama sekali tidak mau mundur dari pendiriannya dan tidak memberi izin dan menolak pernikahan tersebut.
Setelah melakukan lamaran untuk ketiga kalinya dan belum mendapatkan restu, akhirnya Ahriana memutuskan untuk tinggal Tami sebagai wujud kekece-waannya terhadap ayahnya. Pada tanggal 17 Mei 2016, Ahriana dan Tami menghadap ke Kantor Urusan Agama Kec. Pallangga Kab. Gowa dengan tujuan agar keduanya dinikahkan dengan wali hakim dengan alasan orang tua Ahriana sebagai wali, akan tetapi KUA tersebut menolak rencana tersebut.  Setelah penolakan oleh KUA tersebut, Ahriana dan Tami memohon mengajukan permohonan penetapan wali hakim ke Pengadilan Agama Sungguminasa.

2.      Pokok-Pokok Pertimbangan Dalam Penetapan
Menimbang, bahwa maksud dan tujuan permohonan pemohon (Ahriana) sebagaimana telah diuraikan di muka.
Menimbang, bahwa untuk mengurus pernikahan, pemohon telah menempu prosedur sebagaimana telah ditetapkan Pasal 9 Peraturan Menteri Agama No. 11 Tahun 2007, dan keinginan pemohon untuk menikah dengan Tami Sanjaya Bin Muntu Dg. Tulung telah ditolak oleh Kantor Urusan Agama Kec. Pallangga, Kab. Gowa dengan Nomor KK.21.02.3/PW.01/333/V/2016, tanggal 19 Mei 2016 dengan alasan wali nikah tidak bersedia/tidak setuju. Berdasarkan surat tersebut, maka pemohon telah memenuhi syarat administratif untuk mengajukan permohonan wali adhal di Pengadilan Agama Sungguminasa sebagaimana diatur Pasal 21 ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.
Menimbang, bahwa pada hari persidangan yang telah ditetapkan, pemohon telah menghadap sendiri di persidangan, sedangkan wali pemohon tidak datang menghadap di persidangan dan tidak pula menyuruh orang lain sebagai kuasanya meskipun telah dipanggil secara resmi dan patut serta tidak hadirnya bukan disebabkan oleh suatu halangan yang sah.
Menimbang, bahwa walaupun wali pemohon tidak menghadiri persidangan, Majelis Hakim telah berupaya menasehati pemohon agar persoalannya tersebut diselesaikan secara kekeluargaan, akan tetapi juga tidak berhasil.
Menimbang, bahwa alasan pokok pemohon mengajukan permohonan wali adhal adalah ayah kandung pemohon tidak bersedia menjadi wali nikah karena pemohon dan calon suami pemohon tidak sederajat dan pemohon belum menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) sesuai dengan bidang ilmunya serta ada anggapan dali wali pemohon kalau pemohon tergila-gila kepada calon suami pemohon karena diguna-gunai.
Menimbang, bahwa oleh karena wali nikah pemohon (Syaiful Bachri Rukka Bin Salim Rukka) tidak hadir di persidangan, maka wali pemohon tidak dapat didengar keterangannya.
Menimabng, bahwa Majelis telah mendengar keterangan calon suami pemohon bernama Tami Sanjaya Bin Muntu Dg. Tulung yang pada pokonya menyatakan ingin segera menikah dengan pemohon karena pemohon sekarang sedang hamil 3 bulan mengandung anaknya.
Menimbang, bahwa berdasarkan permohonan pemohon, keterangan-keterangan caolon suami pemohon, serta keterangan saksi-saksi pemohon di persidangan ditemukan fakta-fakta sebagai berikut:
-       Bahwa pemohon mengajukan permohonan wali adhal karena wali pemohon tidak mau menjadi wali nikah pemohon ketika menikah dengan Tami Sanjaya Bin Muntu Dg. Tulung.
-       Bahwa pemohon sekarang tinggal di rumah Imam Desa Tetebatu Kec. Pallangga Kab. Gowa karena pemohon lari dari rumah orang tua pemohon disebabkan orang tua pemohon tidak merestui pemohon menikah dengan Tami Sanjaya Bin Muntu Dg. Tulung.
-       Bahwa keluarga calon suami pemohon telah melamar pemohon sebanyak tiga kali, namun orang tua pemohon tetap menolak dengan alasan pemohon belum menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) sesuai dengan bidang ilmunya,  awalnya sewaktu pelamaran pertama diterima oleh ibu pemohon tetapi masalah uang belanja belum dibicarakan karena ayah pemohon saat itu sedang dinas di luar kota Jakarta.
-       Bahwa pemohon dengan calon suami pemohon tidak ada hubungan keluarga dan setahu saksi antara pemohon dan calon suami pemohon tidak ada larangan dan halangan untuk menikah kecuali ayah pemohon yang tidak mau menjadi wali pernikahan pemohon.
-       Bahwa calon suami pemohon berstatus jejaka dan telah bekerja di koperasi.
-       Bahwa pemohon sekarang sedang hamil 3 bulan karena perbuatan calon suami pemohon.
Menimbang, bahwa wali pemohon menolak (enggang) menjadi wali pemohon, dan penolakan wali pemohon bukan karena persoalan sekufu dan bukan karena larangan nikah, akan tetapi hanya semata-mata karena wali pemohon ingi pemohon sebelum menikah telah mempunyai pekerjaan sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) sesuai bidang ilmunya sehingga dengan keenggangan wali pemohon tersebut menjadi kendala terjadinya pernikahan pemohon dengan calon suami pemohon.
Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta tersebut di muka, maka Majelis Hakim berkesimpulan bahwa keenggangan wali pemohon adalah merupakan sikap keberatan atau tidak setuju, keberatan mana wali pemohon tersebut bukan atas alasan yang dapat dibenarkan dalam hukum Islam, seperti tidak sekufu karena adanya perbedaan agama atau ikhtilafuddin (vide 61 Kompilasi Hukum Islam) dan atau karena adanya sikap dan perilaku calon suami pemohon yang menyimpang dan nilai-nilai hukum dan moral yang sangat berpotensi menghancurkan sendi-sendi kehidupan rumah tangga.
Menimbang, bahwa antara pemohon dan calon suaminya (mempelai pria) tidak ditemukan adanya hal-hal yang bertentangan dengan aturan perkawinan serta tidak ada hal-hal yang menjadi larangan bagi pemohon untuk menikah dengan lelaki pilihannya tersebut sebagaimmana yang dimaksud Pasal 6,7,8, dan 9 UU No. 1 Tahun 1974, jo Pasal 39,40,42,43, dan 44 Kompilasi Hukum Islam.
Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta tersebut, Majelis Hakim menilai keenggangan atau adhalnya wali pemohon untuk menikahkan pemohon dengan lelaki pilihannya itu tidaklah beralasan, baik merupakan hukum syara` maupun perundang-undangan yang berlaku.
Menimbang, bahwa dengan tidak hadirnya ayah kandung pemohon walaupun telah dipanggil secara resmi dan patut, maka Majelis Hakim sependapat dan mengambil alih pendapat ahli fiqih dalam kitab I`anatut Tholibin Juz II halaman 319 yang berbunyi:
(vide terlampir dalam penetapan yang asli)
Artinya: “bila telah jelas wali itu bersembunyi atau membangkan maka hakimlah yang mengawingkannya.”
Menimbang, bahwa antara pemohon dengan calon suami pemohon sudah terlanjur saling mencintai, tidak ada larangan menikah di antara keduanya, bahkan sekarang pemohon sedang hamil dan telah lari dari rumah orang tuanya dengan tinggal di rumah Imam Desa setempat, maka atas dasar prinsip hukum Islam sebagaimana kaidah fiqih yang berbunyi sebagai berikut:
(vide terlampir dalam penetapan yang asli)
Artinya: “menolak mafsadat didahulukan daripada meraih keselamatan.”
Kehendak pemohon untuk menikah dengan calon suami pemohon adalah merupakan suatu langkah tepat untuk mencegah mafsadat antara keduanya, oleh karenanya permohonan pemohon untuk menetapkan adhalnya wali pemohon (Syaiful Bachri Bin Salim Rukka) dapat dikabulkan dengan menetapkan wali nasab dalam hal ini ayah pemohon (Syaiful Bachri Bin Salim Rukka) adalah adhal sehingga pemohon diizinkan untuk melangsungkan pernikahan dengan wali hakim.
Menimbang, bahwa apabila wali nasab enggang untuk memberikan hak perwaliannya, maka dapat ditetapkan wali hakim untuk menggantikan kedudukannya sebagaimana yang dimaksud Pasal 2 ayat (1) Peraturan Menteri Agama RI Nomor 30 Tahun 2005 dan Pasal 23 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam.
Menimbang, bahwa sesuai surat permohonan dan domisili terakhir pemohon, maka Pengadilan Agama Sungguminasa menunjuk Kantor Urusan Agama Kec. Pallannga, Kab. Gowa sebagai wali hakim untuk menikahkan pemohon (Ahriana Rukka Binti Syaiful Bachri Rukka) dengan calon suami pemohon (Tami Sanjaya Bin Muntu Dg. Tulung) sesuai ketentuan ayat (4) Pasal 21 UU No. 1 Tahun 1974 setelah sebelumnya wali nasab pemohon dimintai kemali kesediaannya untuk menjadi wali nikah pemohon sebagaimana dimaksud Pasal 5 ayat (1) Peraturan Menteri Agama RI No. 30 Tahun 2005.
Menimbang, bahwa dengan pertimbangan-pertimbangan tersebut di muka, maka permohonan pemohon dipandang terbukti dan cukup memenuhi alasan hukum, dan karenanya dapat diterima dan dikabulkan.
Menimbang, bahwa perkara ini termasuk dala bidang hukum perkawinan, maka biaya perkara harus dibebangkan kepada pemohon sesuai ketentuan Pasal 89 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989.
Mengingat segala ketentuan perundang-undangan yang berlaku serta hukum syar`i yang berkaitan dengan perkara ini.

3.      Komentar
Berdasarkan kasus yang ada pada Penetapan Pengadilan Agama di atas, menurut hemat penulis merupakan suatu tindakan tepat yang diambil oleh pengadila agama. Diterimanya permohonan Ahriana Rukka Binti Syaiful Bachri Rukka agar segera melangsungkan perkawinan dengan penetapan wali hakim merupakan langkah untuk menghidarkan seseorang dari berbuat dosa zina lebih lama lagi. Pengadilan agama dengan segala pertimbangannya telah menentukan dan menunjuk wali nikah karena wali nasab pemohon yaitu ayah kandungnya sudah mengingkari atau menolak hak perwaliannya tampa ada alasan yang dapat diterima dalam hukum. Alasan-alasan penolakan perkawinan oleh ayah pemohon sama sekali bukan karena melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan dan hukum Islam.
Jika ditinjau dari aspek hukum Islam yang lebih luas, memang hakim pengadilan agama sebelum menentukan penetapannya terkait dengan penentuan perwalian, tidak boleh menetapkan wali nikah sebelum dilakukan pemeriksaan dalam hukum Islam terkait dengan zina. Seharusnya jika hukum pidana Islam yang berlaku di Indonesia maka hukumannya adalah sesuai dengan ketentuan hukum pidana Islam dan hakim dalam pertimbangannya tidak boleh mengatakan bahwa menolak mafsadat didahulukan daripada meraih keselamatan. Artinya seharusnya para pezina itu dihukum sesuai hukum pidana Islam. Namun, di Indonesia tidak menggunakan hukum pidana Islam.
Kemudian ketika dilihat dari segi pengaruh sosialnya, sudah barang tentu jika ada pandangan bahwa dengan adanya penetapan hakim ini merupakan peluang bagi para calon pasangan suami istri untuk memaksakan kehendaknya dalam melangsungkan pernikahan apabila tidak mendapatkan restu atau izin dari wali nasabnya. Menurut hemat penulis bahwa meskipun penetapan itu dikeluarkan oleh pengadilan agama, namun pengaruhnya sangat kecil karena dapat dilihat fenomena sekarang bahwa sekalipun penetapan itu atau sebelum penetapan itu ada, kejadian serupa sudah sering kali terjadi dalam kehidupan masyarakat.
Sebagai upaya pencegahan akan hal itu adalah bukan karena penetapannya yang mempengaruhi terhadap peluang pemaksaan perkawinan oleh calon suami istri melalui perzinaan, akan tetapi seorang wali nasab seharusnya bijak dalam berfikir, bukan hanya karena persoalan ketidaksederajatan strata sosial atau pekerjaan yang dijadikan alasan penolakan untuk menikahkan anaknya. Hal itu tidak dapat dijadikan alasan penolakan perkawinan disebabkan dalam Islam tidak mengenal adanya kesetaraan sosial dan dalam ajaran Islam, perkawinan itu adalah membuka pintu rezeki karena sesungguhnya Allah telah menentukan itu. Manusia sepatutnya tidak merasa takut untuk kawin hanya dengan alasan takut miskin.


BAB III
P E N U T U P
A.      Kesimpulan
Perkawinan adalah suatu pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan perempuan untuk waktu yang lama. Suatu perkawinan yang sah hanyalah perkawinan yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam undang-undang perkawinan dan syarat-syarat serta peraturan atau hukum agama. Larangan ini termasuk ketertiban umum, artinya apabila dilanggar  selalu diancam dengan pembatalan perkawinan yang dilangsungkan itu.
Mengenai perwalian perkawinan yang ada dalam hukum Islam di bagi ke dalam tiga bagian yaitu, wali nasab, wali hakim, dan wali muhakam. Ketiga jenis wali ini yang paling diutamakan adalah wali nasab, kemudian wali hakim, dan wali muhakam. Dalam perkawinan, wali nikah harus diupayakan sesuai dengan urutannya.
Wali nasab dipandang sangat penting dalam pernikahan karena nasab merupakan sesuatu yang suatu pertalian darah secara langsung. Wali nasab ini sudah banyak dijelaskan dalam Al-Qur`an dan Hadist tetntang pentingnya dan keutamaannya.
Mengenai status pernikahan Ahriana Rukka Binti Syaiful Bachri Rukka adalah sah karena telah mengikuti ketentuan dan syarat perkawinan baik yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan maupun dalam ketentuan hukum Islam. Meskipun wali yang menikahkan bukan wali nasab, akan tetapi bukan karena kehendak kedua mempelai melainkan kehendak wali nasab yang telah menolak sendiri hak perwaliaannya tampa alasan yang sesuai dengan hukum.

B.       Saran
Sebagai saran dari penulis adalah diperlukannya para wali sebagai wali nasab bijak dalam berfikir agar lebih baik untuk anak-anak mereka. Sebagai orang tua, jangan hanya karena persoalan kesetaraan sosial menjadikan anak enggang untuk dinikahkan.


DAFTAR PUSTAKA

Abdul Karim Zaidan, 1993. Al-Mufassol fi Ahkam al-Mar’ah (Beirut, Muassasah ar-Risalah tahun                      1413 H/ 1993 M) cet. Ke-1
Ibnu Katsir Tafsir Qur’an Al-Adzim jil
Imam Thabari, 2007. Jami’ul Bayan an Ta’wil Ayil Qur’an (Kairo, Dar as-Salam tahun      1428                          H/2007 M) cet. Ke-2.
Sabian utsman, 2009. Menuju penegakan hukum responsif. yokyakarta. Pustaka     pelajar.
Satjipto rahardjo, 2007. Mendudukkan Undang-undang Dasar (suatu pembahasan dari optik ilmu                     hukum umum). Yokyakarta. Penerbit universitas       diponegoro semarang.
Sirajuddin, 2016. Analisis sosio-yuridis pemberian remisi terhadap tindak pidana   korupsi (study                     kasus lapas kelas 1 a makassar). Universitas Bosowa. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar