TUGAS HUKUM ACARA
PERADILAN AGAMA
Tinjauan
Sosio-Yuridis Atas Penetapan Wali Adhal Oleh Hakim Pengadilan Agama Terhadap
Wali Nasab Yang Tidak
Memberikan Hak Perwaliannya.
(Analisis Penetapan No. 82/Pdt.P/2016/PA.Sgm
Pengadilan Agama
Sungguminasa Tentang Permohonan Penetapan Wali Adhal
Oleh Ariana Rukka Binti
Syaiful Bachri Rukka)
Motto Hidup: “Kebahagiaan Terbesar
Dalam Hidup Adalah Ketika Kita Mampu
Melakukan Sesuatu Yang Menurut Orang
Tidak Mampu Kita Lakukan”
DISUSUN
OLEH:
NAMA
: MUH. SYAHRUL AGO
NIM
: 45 14 060 002
FAK.
: HUKUM
UNIVERSITAS
BOSOWA MAKASSAR
2017
KATA
PENGANTAR
Assalamu`alaikum
Warahmatullahi Wabarakatu
Dengan mengucapkan rasa
syukur kepada Tuhan yang Maha Esa yang telah melimpahkan segala Rahmat dan
Hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah “Hukum Acara
Peradilan Agama dengan judul Tinjauan Sosio-Yuridis Atas Penetapan Wali Adhal
Oleh Hakim Pengadilan Agama Terhadap Wali Nasab Yang Tidak Memberikan Hak
Perwaliannya (Analisis Penetapan No.
82/Pdt.P/2016/PA.Sgm Pengadilan Agama Sungguminasa Tentang Permohonan Penetapan
Wali Adhal Oleh Ariana Rukka Binti Syaiful Bachri Rukka)” ini tampa ada
hambatan yang begitu sulit.
Makalah ini merupakan
usaha keras penulis dari pemaparan materi kuliah, bahan bacaan, dan hasil
analisis Penetapan No. 82/Pdt.P/2016/PA.Sgm. Pengadilan Agama Sungguminasa yang
penulis bahas dan komparasikan antara teori hukumnya, praktiknya, dan
penerimaannya di dalam masyarkat kemudian dituangkan ke dalam suatu tugas
makalah.
Ahirnya dengan rendah
hati, penulis mengetahui akan adanya kekurangan dari makalah ini, maka dari itu
kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak demi
kesempurnaan ilmu kita masing-masing sebagai mahasiswa yang cerdas. Semoga makalah
ini bermanfaat untuk kita semua dan Allah senantiasa memberikan limpahan
keberkahan ilmunya kepada kita semua, Insya Allah. Amin.
Billahitaufiqi
Wal Hidayah
Wassalamu`alaikum
Warahmatullahi Wabarakatu.
Makassar,
20 Mei 2017
Penulis
|
|
(Muh.
Syahrul Ago)
|
|
DAFTAR
ISI
Halaman Sampul ....................................................................................................... i
Kata Pengantar .......................................................................................................... ii
Daftar Isi ................................................................................................................... iii
BAB I. PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah ................................................................................ 1
B.
Rumusan Masalah ......................................................................................... 2
C.
Tujuan Penulisan ........................................................................................... 2
BAB II. TINJAUN PUSTAKA
A.
Pengertian Sosio-Yuridis .............................................................................. 3
B.
Pengertian Dan Macam-Macam Wali Dalam
Pernikahan ............................. 4
C.
Keutamaan Wali Nasab Dari Wali Lainnya
Dalam Pernikahan .................... 5
D.
Analisis Penetapan Hakim Pengadilan
Agama Sungguminasa ..................... 7
BAB III. PENUTUP
A.
Kesimpulan ................................................................................................... 14
B.
Saran ............................................................................................................. 14
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 15
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Seiring dengan
perkembangan zaman, persoalan dalam perkawinan semakin rumit dengan berbagai
kompleksitas masyarakat yang berbeda pandangan dan kemunculan berbagai
faham-faham baru. Salah satu permasalah yang sering timbul dikalangan
orang-orang muslim adalah persoalan perkawinan yang beda agama. Padahal, baik
dalam peraturan perundang-undangan apalagi dalam hukum Islam, pernikahan beda
agama tidak diperbolehkan. Di sisi lain, perkawinan juga sering kali terhalang
oleh beberapa persoalan seperti persamaan atau kesetaraan derajat, faktor
sosial, pendidikan, dan lain sebagainya. Tidak bisa dipungkiri bahwa di Indonesia
adalah negara yang banyak suku, agama, ras, dan budaya. Seperti di Makassar
contohnya, kadang-kadang perkawinan tertunda atau bahkan batal disebabkan oleh
“uang panai” yang tidak mampu disanggupi oleh mempelai laki-laki. Padahal,
dalam perkawinan Islam “uang panai” bukan syarat sahnya perkawinan. “Uang
panai” sesungguhnya hanyalah hadiah kepada mempelai perempuan namun telah
dibudayakan di kalangan masyarakat Bugis Makassar sebagai sesuatu yang harus
ada.
Dewasa ini sering dijumpai berbagai
permasalahan tentang status hukum dari hal-hal yang kontemporer antara lain
adalah hukum wali hakim dalam pernikahan, hukum nikah mut’ah dan juga hukum status
anak zina yang kini semakin meradang pada masyarakat. Hal demikian disebabkan
tidak terlepas dari persoalan yang seperti yang disebutkan sebelumnya. Sebenarnya
jika dilihat dari sejarah perkembangan perkawinan Islam, sudah sejak zaman
Rasulullah SAW dikenal adanya wali selain wali nasab dalam pernikahan. Pada
masa itu, pengangkatan wali selain wali nasab dalam pernikahan juga disebabkan
oleh beberapa faktor, contohnya anak angkat yang diasuh oleh orang kaya yang
sejatinya wali nasab perempuan tersebut ketika melakukan pernikahan adalah ayah
kandungnya.
Sudah sering terdengar perbedaan
dalam penentuan status hukum dari ketiga wali nikah tersebut dari mulai ulama
yang satu dengan yang lain mempunyai dalil dan pedoman yang berbeda untuk
menentukan hukumnya. Dalam pernikahan, adanya wali dan mempelai perempuan adalah
penting karena salah satu termasuk hukum nikah. Apabila dalam prosesi
pernikahan tidak adanya wali maka perkawinan tersebut tidak sah. Jumhur Ulama’
diantaranya Imam malik Assyafi’I, Ats Tsauri dan Al Laits bin Saad berpendapat
bahwa wali dalam pernikahan adalah ashabah bukan paman dan bukan saudara seibu
dan bukan ahwalil arham lainnya. Kata Imam SyAfi’I pernikahan seorang perempuan
Tidak sah kecuali apabila dinikahkan oleh wali aqrob (dekat). Kalau tidak ada
wali aqrob maka dinikahkan oleh wali abad (jauh) kalau tidak ada maka
dinikahkan oleh penguasa (wali Hakim). (Qurrota A’yun Fatkhi, 2012).
Persoalan permohonan penetapan wali
hakim pada pengadilan agama sebetulnya bukan suatu larangan bagi orangi Islam
yang ingin melaksanakan perkawinannya. Sama seperti pada kasus Ahriana Rukka
Binti Syaiful Bchri Rukka yang tidak mendapatkan persetujuan kawin dari ayahnya
sebagai wali nasabnya disebabkan oleh faktor ketidaksederajatan dalam strata
sosial dan faktor pekerjaan. Fenomena-fenomena seperti ini merupakan sesuatu
yang tidak masuk dalam ajaran Islam. Permasalahan ketidaksetaraan strata sosial
dan pekerjaan bukan suatu alasan yang dapat dipertahankan dalam ajaran Islam
sebab Islam tidak mengenal itu.
B.
Perumusan
Masalah
Adapun perumusan
masalahnya adalah sebagai berikut:
1.
Bagaimanakah konsekuensi hukumnya
apabila wali nasab menolak hak perwaliannya dengan alasan ketidaksederajatan
dalam sosial ?
2.
Bagaimanakah status hukum pernikahan
Ahriana Rukka Binti Syaiful Bachri Rukka dengan Tami Sanjaya Bin Muntu Dg.
Tulung yang tidak mendapatkan persetujuan perwalian ?
C.
Tujuan
Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan ini
adalah sebagai berikut:
1. Dapat
memahami tentang hukum perkawinan pada umumnya dan hukum perwalian dalam
perkawinan pada khususnya.
2. Sebagai
tugas dalam mata kuliah hukum acara peradilan agama.
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
A.
Pengertian
Sosio-Yuridis
Sosiologi hukum
merupakan cabang ilmu yang termuda dari cabang ilmu yang lain, hal itu tampak
pada hasil karya tentang sosiologi hukum yang hingga saat ini masih sangat
sedikit. Sosiologi hukum merupakan suatu cabang ilmu pengetahuan yang antara
lain mengapa manusia patuh pada hukum dan mengapa dia gagal untuk menaati hukum
serta faktor-faktor sosial lain yang mempenga-ruhinya. (Sirajuddin, 2016: 9).
Wignjosoebroto
berpendapat bahwa sosiologi hukum adalah salah satu bahan kajian sosiologi yang
termasuk pada keluarga ilmu pengetahuan sosial dan cabang kajian tentang
kehidupan bermasyarakat manusia pada umumnya yang berperhatian kepada
upaya-upaya manusia yang menegakkan dan mensejahterah-kan kehidupannya serta
mempunyai kekhususan yang berbeda dengan kajian pada cabang-cabang sosiologi
yang lain. (Sabian Utsman, 2009: 115).
Satjipto Rahardjo juga
berpendapat bahwa dalam mengemukakan batasan tentang sosiologi hukum yaitu
sosiologi hukum (sociology of law)
adalah pengetahuan hukum pada pola perilaku masyarakat dalam konteks sosialnya
(Satjipto Rahardjo, 2007: 1).
Pengertian sosiologi
hukum ini bertujuan untuk menganalisa bagaimana jalannya suatu hukum dalam
masyarakat yang merupakan hal utama bagi para pengguna hukum dalam suatu
masyarakat. Menurut hemat penulis, seperti yang sering di suarakan oleh para
pemerhati hukum bahwa sesungguhnya hukum itu dibuat untuk manusia atau
masyarakat dan bukan hukum untuk hukum itu sendiri. Pernyataan tersebut
menggambarkan bahwa sesungguhnya hukum itu tidak ada artinya tampa ada peran serta
dari masyarakat untuk mematuhi hukum. Hal ini yang membuat perlunya mempelajari
tentang sosiologi hukum untuk mengetahui bagaimana hukum itu bekerja secara
efektif dalam kehidupan masyarakat.
Dengan demikian, dalam
upaya pembangunan sistem hukum harus memperhatikan kebiasaan-kebiasaan yang
hidup dalam masyarakat karena jika pemberlakuan hukum positif di dalam
masyarakat tidak sejalan dengan kebiasaan-kebiasaan tersebut, maka dapat
dipastikan bahwa hukum positif atau undang-undang tersebut tidak dapat berjalan
dengan efektif. Sebagaimana pemahaman penulis tentang keefektifan hukum yang di
gambarkan dari beberapa pandangan ahli bahwa hukum hanya bisa efektif apabila
didukung oleh subtansi undang-undang yang baik, aparatur penegak hukum yang
baik, dan penerimaan hukum oleh masyarakat yang baik pula.
B.
Pengertian
Dan Macam-Macam Wali Dalam Pernikahan
Berbicara masalah perwalian dalam
Islam terbagi menjadi 3. (Hakam Abbas, 2014). Diriwayatkan suatu hadist dari
Abu Hurairah RA, katanya Rasulullah SAW bersabda : “Seorang wanita tidak boleh
mengawinkan seorang wanita dan tidak pula mengawinkan dirinya”. (HR. Daruqutni).
Dari hadist di atas memberikan batasan bahwa dalam melangsungkan pernikahan,
seorang perempuan sama sekali tidak bisa menjadi wali nikah atasperempuan yang
lain dan tidak pula bisa menikahkan dirinya sendiri.
Seperti yang telah
dikemukakan di atas bahwa wali nikah dibagi menjadi tiga bagian yaitu wali
nasab, wali hakim, dan wali muhakam. Wali nasab adalah orang-orang
yang terdiri dari keluarga calon mempelai wanita yang berhak menjadi wali nikahnya
menurut urutan sederahnanya, seperti ayah kandung, kakek dari ayah, saudara
kandung laki-laki, paman dari keluarga ayah, anak laki-laki saudara ayah, dan
seterusnya. Nasab dalam doktrinal dan hukum Islam merupakan sesuatu yang sangat
urgen, nasab merupakan nikmat yang paling besar yang diturunkan oleh Allah SWT
kepada hamba-Nya. (Hedra Prasetya, 2010).
Wali Hakim maksudnya adalah orang
yang diangkat oleh pemerintah (Menteri Agama) yang bertindak sebagai wali dalam
suatu pernikahan. Dalam Peraturan Menteri Agama (PMA) No. 2 tahun 1987 orang
yang ditunjuk menjadi wali hakim adalah Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan. Calon
mempelai wanita yang boleh meminta wali hakim jika dalam kondisi tidak memiliki
wali nasab sama sekali, Wali hilang tidak tahu keberadaannya, Wali jauh sejauh
minimal 92,5 km, Wali dalam penjara/tahanan yang tidak boleh dijumpai, Wali
sedang melakukan ibada haji atau umrah. Jika dalam salah satu kondisi di atas,
maka yang berhak untuk menjadi wali dalam perkawinan tersebut adalah wali
hakim. (Hakam Abbas, 2014).
Wali Muhakam adalah orang yang
diangkat oleh kedua calon suami istri untuk bertindak sebagai wali dalam akad
nikah mereka, yang mana kondisi seharusnya dilaksanakan dengan wali hakim
tetapi tempat tersebut tidak ada wali hakimnya maka pernikahan boleh
dilangsungkan dengan wali muhakam. (Hakam Abbas, 2014).
C.
Keutamaan
Wali Nasab Dari Wali Lainnya Dalam Pernikahan
Dalam perkawinan bagi
orang Islam, perempuan sangat dianjurkan diwalikan oleh wali nasabnya,
sebagaimana yang telah dijelaskan di atas tentang siapa saja yang termasuk
dalam golongan wali nasab. Wali nasab begitu pentingnya, apalagi yang paling
diutamakan adalah ayah kandungnya sudah banyak dijelaskan dalam beberapa ayat
dalam Al-Qur`an dan Hadist. Hal demikian menandakan bahwa keutamaan wali nasab
lebih dari wali yang lainnya.
Nasab adalah legalitas hubungan
kekeluargaan yang berdasarkan pertalian darah, sebagai salah satu akibat dari
pernikahan yang sah, atau nikah fasid, atau senggama syubhat (zina). Nasab
merupakan sebuah pengakuan syara’ bagi hubungan seorang anak dengan garis
keturunan ayahnya sehingga dengan itu anak tersebut menjadi salah seorang
anggota keluarga dari keturunan itu dan dengan demikian anak itu berhak
mendapatkan hak-hak sebagai akibat adanya hubungan nasab. Seperti hukum waris,
pernikahan, perwalian dan lain sebagainya. (Hendra Prasetya, 2010).
Seseorang boleh menasabkan dirinya
kepada seseorang atau ayahnya apabila sudah terpenuhi syarat-syaratnya, adapun
syarat-syaratnya adalah sebagaimana berikut (Abdul Karim Zaidan, 1993: 321);
1.
Seorang anak yang lahir dari seorang perempuan memang
benar-benar hasil perbuatannya dengan suaminya.
2.
Ketika perempuan hamil, waktunya tidak kurang dari
waktu kehamilan pada umumnya.
3.
Suami tidak mengingkari anak yang lahir dari istrinya.
Salah satu bukti bahwa nasab adalah
hal yang sangat penting bisa dilihat dalam sejarah Islam, ketika Nabi Muhammad
SAW mengangkat seorang anak yang bernama Zaid bin Haritsah sebelum kenabian. Kemudian
anak tersebut oleh orang-orang dinasabkan kepada Nabi Muhammad SAW, sehingga
mereka mendapatkan teguran dari Allah SWT. Dalam al-Qur’an surat al-Ahzab ayat
4 -5 yang berbunyi sebagai berikut (Hendra Prasetya, 2010):
مَا جَعَلَ
اللَّهُ لِرَجُلٍ مِنْ قَلْبَيْنِ فِي جَوْفِهِ وَمَا جَعَلَ أَزْوَاجَكُمُ
اللَّائِي تُظَاهِرُونَ مِنْهُنَّ أُمَّهَاتِكُمْ وَمَا جَعَلَ أَدْعِيَاءَكُمْ
أَبْنَاءَكُمْ ذَلِكُمْ قَوْلُكُمْ بِأَفْوَاهِكُمْ وَاللَّهُ يَقُولُ الْحَقَّ
وَهُوَ يَهْدِي السَّبِيلَ ادْعُوهُمْ لِآَبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ
فَإِنْ لَمْ تَعْلَمُوا آَبَاءَهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ
وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُمْ بِهِ وَلَكِنْ مَا تَعَمَّدَتْ
قُلُوبُكُمْ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا (QS. Al-Ahzab : 4-5).
“Allah sekali-sekali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hatidalam
rongganya; dan dia tidak menjadikan isteri-isterimu yang kamu dzibar itu
sebagai ibumu, dan dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak-anak
kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulut saja. Dan
Allah mengatakan yang sebenarnya. Dan dia menunjukkan jalan (yang benar).
Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak
mereka, itulah yang lebih adil pada sisi allah, dan jika kamu tidak mengetahui
bapak-bapak mereka maka (panggillah) mereka sebagai) saudara-sauadaramu seagama
dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf
kepadanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan
adalah Allah maha pengampun lagi maha penyayang.”
Dalam ayat di atas dijelaskan bahwa anak angkat tidak dapat menjadi anak
kandung, ini dipahami dari lafaz “wa maja‘ala ad‘iya-akum abna-akum”. Sebagaimana
yang dijelaskan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya Tafsir Qura’n Al-Adzim,
di sana dijelaskan bahwasanya yang dimaksud dalam kalimat “Wa ma Ja’ala
Ad’iyaakum Abnaukum” adalah bahwasanya anak angkat tidak bisa
dinasabkan kepada ayah yang mengangkatnya. (Ibnu Katsir Tafsir Qur’an
Al-Adzim jil).
Dan kemudian dijelaskan bahwa anak angkat tetap dinasabkan kepada ayah
kandungnya, bukan kepada bapak angkatnya. Ini dipahami dari lafaz “ud‘uhum
li abaihim.“ (Imam Thabari, 2007: 6612). Dalam
sebuah hadist Nabi Muhammad SAW bersabda:
عَنْ سَعْدٍ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ ادَّعَى إِلَى غَيْرِ أَبِيهِ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ
غَيْرُ أَبِيهِ فَالْجَنَّةُ عَلَيْهِ حَرَامٌ
“Barang siapa menisbatkan dirinya kepada selain ayah kandungnya padahal ia
mengetahui bahwa itu bukanlah ayah kandungnya, maka diharamkan baginya surga”.
Dalam hadist di atas dijelaskan bahwa, seseorang tidak boleh menasabkan dirinya
kepada selain ayah kandungnya, apabila ia tahu siapa ayahnya. Hal ini dipahami
dari lafaz “fal jannatu „alaihi haramum“. Orang yang tidak
boleh masuk surga adalah orang yang berdosa. Jadi apabila seseorang menasabkan
dirinya kepada selain ayah kandungnya, sedangkan dia tahu bahwa itu bukan
ayahnya maka dia termasuk orang yang berdosa, sehingga diharamkan untuknya
surga. Islam tidak pernah mengakui status anak angkat yang berubah menjadi anak
kandung secara hukum. Tabanni atau mengangkat anak memang tidak pernah
dibenarkan dalam Islam. (Hendra Prasetta, 2010).
Dari uraian di atas tergambar bahwa betapa perlunya wali nasab dalam
pernikahan seorang perempuan, terutamah perwalian dari seorang ayah kandung.
Meskipun pada kenyataannya sekarang pengangkatan wali selain wali nasab begitu
sangat mudah dikalangan masyarakat awam tengtang hukum Islam. Bahkan
perwaliaannya diserahkan begitu saja kepada pihak lain yang pada alasannya
banyak wali nasab merasa takut salah atau karena alasan lain.
D.
Analisis
Penetapan Pengadilan Agama Sungguminasa
1. Posisi Kasus
Cerita bermula saat
Ahriana Rukka Binti Bachri Rukka atau sebut saja Ahriana bepcaran dengan Tami
Sanjaya Bin Muntu Dg. Tulung atau sebut saja Tami. Ahriana dan Tami sudah
berpacaran sejak kurang lebih satu tahun hingga akhirnya mereka berniat untuk
melanjutkan hubungannya ke dalam ikatan pernikahan mengingat hubungan mereka
sudah sedemikian eratnya dan sangat sulit untuk dipisahkan lagi. Untuk
melanjutkan niatnya, Tami meminang Ahriana dan pinangan pertamanya diterima
oleh ibunya, tetapi pada saat itu belum dibicarakan masalah uang belanja karena
ayah Ahriana, Syaiful Bachri Rukka Bin Salim Rukka sedang dinas di Jakarta.
Setelah beberapa waktu
kemudian, Tami dan keluarganya melakukan lamaran lagi untuk kedua kalinya. Akan
tetapi, lamaran Tami ditolak oleh ayah Ahriana disebabkan karena alasan tidak
sederajat, belum punya kerjaan, dan anaknya Ahriana suka kepada Tami karena
alasan guna-guna. Begitupula lamaran ketiga, ayah Ahriana tetap menolak lamaran
Tami dengan alasan yang sama. Berkali-kali pihak keluarga Tami berusaha keras
melakukan pendekatan kepada orang tua Ahriana agar menerima lamaran dan
menikahkan Ahriana dengan Tami, akan tetapi ayah Ahriana sama sekali tidak mau
mundur dari pendiriannya dan tidak memberi izin dan menolak pernikahan tersebut.
Setelah melakukan
lamaran untuk ketiga kalinya dan belum mendapatkan restu, akhirnya Ahriana
memutuskan untuk tinggal Tami sebagai wujud kekece-waannya terhadap ayahnya.
Pada tanggal 17 Mei 2016, Ahriana dan Tami menghadap ke Kantor Urusan Agama
Kec. Pallangga Kab. Gowa dengan tujuan agar keduanya dinikahkan dengan wali
hakim dengan alasan orang tua Ahriana sebagai wali, akan tetapi KUA tersebut
menolak rencana tersebut. Setelah
penolakan oleh KUA tersebut, Ahriana dan Tami memohon mengajukan permohonan penetapan
wali hakim ke Pengadilan Agama Sungguminasa.
2. Pokok-Pokok Pertimbangan Dalam
Penetapan
Menimbang, bahwa maksud
dan tujuan permohonan pemohon (Ahriana) sebagaimana telah diuraikan di muka.
Menimbang, bahwa untuk
mengurus pernikahan, pemohon telah menempu prosedur sebagaimana telah
ditetapkan Pasal 9 Peraturan Menteri Agama No. 11 Tahun 2007, dan keinginan
pemohon untuk menikah dengan Tami Sanjaya Bin Muntu Dg. Tulung telah ditolak
oleh Kantor Urusan Agama Kec. Pallangga, Kab. Gowa dengan Nomor KK.21.02.3/PW.01/333/V/2016,
tanggal 19 Mei 2016 dengan alasan wali nikah tidak bersedia/tidak setuju.
Berdasarkan surat tersebut, maka pemohon telah memenuhi syarat administratif
untuk mengajukan permohonan wali adhal di Pengadilan Agama Sungguminasa sebagaimana
diatur Pasal 21 ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.
Menimbang, bahwa pada
hari persidangan yang telah ditetapkan, pemohon telah menghadap sendiri di
persidangan, sedangkan wali pemohon tidak datang menghadap di persidangan dan
tidak pula menyuruh orang lain sebagai kuasanya meskipun telah dipanggil secara
resmi dan patut serta tidak hadirnya bukan disebabkan oleh suatu halangan yang
sah.
Menimbang, bahwa
walaupun wali pemohon tidak menghadiri persidangan, Majelis Hakim telah
berupaya menasehati pemohon agar persoalannya tersebut diselesaikan secara
kekeluargaan, akan tetapi juga tidak berhasil.
Menimbang, bahwa alasan
pokok pemohon mengajukan permohonan wali adhal adalah ayah kandung pemohon
tidak bersedia menjadi wali nikah karena pemohon dan calon suami pemohon tidak
sederajat dan pemohon belum menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) sesuai dengan
bidang ilmunya serta ada anggapan dali wali pemohon kalau pemohon tergila-gila
kepada calon suami pemohon karena diguna-gunai.
Menimbang, bahwa oleh
karena wali nikah pemohon (Syaiful Bachri Rukka Bin Salim Rukka) tidak hadir di
persidangan, maka wali pemohon tidak dapat didengar keterangannya.
Menimabng, bahwa
Majelis telah mendengar keterangan calon suami pemohon bernama Tami Sanjaya Bin
Muntu Dg. Tulung yang pada pokonya menyatakan ingin segera menikah dengan
pemohon karena pemohon sekarang sedang hamil 3 bulan mengandung anaknya.
Menimbang, bahwa
berdasarkan permohonan pemohon, keterangan-keterangan caolon suami pemohon,
serta keterangan saksi-saksi pemohon di persidangan ditemukan fakta-fakta
sebagai berikut:
- Bahwa
pemohon mengajukan permohonan wali adhal karena wali pemohon tidak mau menjadi
wali nikah pemohon ketika menikah dengan Tami Sanjaya Bin Muntu Dg. Tulung.
- Bahwa
pemohon sekarang tinggal di rumah Imam Desa Tetebatu Kec. Pallangga Kab. Gowa
karena pemohon lari dari rumah orang tua pemohon disebabkan orang tua pemohon
tidak merestui pemohon menikah dengan Tami Sanjaya Bin Muntu Dg. Tulung.
- Bahwa
keluarga calon suami pemohon telah melamar pemohon sebanyak tiga kali, namun
orang tua pemohon tetap menolak dengan alasan pemohon belum menjadi Pegawai
Negeri Sipil (PNS) sesuai dengan bidang ilmunya, awalnya sewaktu pelamaran pertama diterima
oleh ibu pemohon tetapi masalah uang belanja belum dibicarakan karena ayah
pemohon saat itu sedang dinas di luar kota Jakarta.
- Bahwa
pemohon dengan calon suami pemohon tidak ada hubungan keluarga dan setahu saksi
antara pemohon dan calon suami pemohon tidak ada larangan dan halangan untuk
menikah kecuali ayah pemohon yang tidak mau menjadi wali pernikahan pemohon.
- Bahwa
calon suami pemohon berstatus jejaka dan telah bekerja di koperasi.
- Bahwa
pemohon sekarang sedang hamil 3 bulan karena perbuatan calon suami pemohon.
Menimbang, bahwa wali
pemohon menolak (enggang) menjadi wali pemohon, dan penolakan wali pemohon
bukan karena persoalan sekufu dan bukan karena larangan nikah, akan tetapi
hanya semata-mata karena wali pemohon ingi pemohon sebelum menikah telah
mempunyai pekerjaan sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) sesuai bidang ilmunya
sehingga dengan keenggangan wali pemohon tersebut menjadi kendala terjadinya
pernikahan pemohon dengan calon suami pemohon.
Menimbang, bahwa
berdasarkan fakta-fakta tersebut di muka, maka Majelis Hakim berkesimpulan
bahwa keenggangan wali pemohon adalah merupakan sikap keberatan atau tidak
setuju, keberatan mana wali pemohon tersebut bukan atas alasan yang dapat
dibenarkan dalam hukum Islam, seperti tidak sekufu karena adanya perbedaan
agama atau ikhtilafuddin (vide 61 Kompilasi
Hukum Islam) dan atau karena adanya sikap dan perilaku calon suami pemohon yang
menyimpang dan nilai-nilai hukum dan moral yang sangat berpotensi menghancurkan
sendi-sendi kehidupan rumah tangga.
Menimbang, bahwa antara
pemohon dan calon suaminya (mempelai pria) tidak ditemukan adanya hal-hal yang
bertentangan dengan aturan perkawinan serta tidak ada hal-hal yang menjadi
larangan bagi pemohon untuk menikah dengan lelaki pilihannya tersebut
sebagaimmana yang dimaksud Pasal 6,7,8, dan 9 UU No. 1 Tahun 1974, jo Pasal
39,40,42,43, dan 44 Kompilasi Hukum Islam.
Menimbang, bahwa
berdasarkan fakta-fakta tersebut, Majelis Hakim menilai keenggangan atau
adhalnya wali pemohon untuk menikahkan pemohon dengan lelaki pilihannya itu
tidaklah beralasan, baik merupakan hukum syara` maupun perundang-undangan yang
berlaku.
Menimbang, bahwa dengan
tidak hadirnya ayah kandung pemohon walaupun telah dipanggil secara resmi dan
patut, maka Majelis Hakim sependapat dan mengambil alih pendapat ahli fiqih
dalam kitab I`anatut Tholibin Juz II halaman 319 yang berbunyi:
(vide terlampir dalam
penetapan yang asli)
Artinya: “bila telah
jelas wali itu bersembunyi atau membangkan maka hakimlah yang mengawingkannya.”
Menimbang, bahwa antara
pemohon dengan calon suami pemohon sudah terlanjur saling mencintai, tidak ada
larangan menikah di antara keduanya, bahkan sekarang pemohon sedang hamil dan
telah lari dari rumah orang tuanya dengan tinggal di rumah Imam Desa setempat,
maka atas dasar prinsip hukum Islam sebagaimana kaidah fiqih yang berbunyi
sebagai berikut:
(vide terlampir dalam
penetapan yang asli)
Artinya: “menolak
mafsadat didahulukan daripada meraih keselamatan.”
Kehendak pemohon untuk
menikah dengan calon suami pemohon adalah merupakan suatu langkah tepat untuk
mencegah mafsadat antara keduanya, oleh karenanya permohonan pemohon untuk
menetapkan adhalnya wali pemohon (Syaiful Bachri Bin Salim Rukka) dapat
dikabulkan dengan menetapkan wali nasab dalam hal ini ayah pemohon (Syaiful
Bachri Bin Salim Rukka) adalah adhal sehingga pemohon diizinkan untuk
melangsungkan pernikahan dengan wali hakim.
Menimbang, bahwa
apabila wali nasab enggang untuk memberikan hak perwaliannya, maka dapat
ditetapkan wali hakim untuk menggantikan kedudukannya sebagaimana yang dimaksud
Pasal 2 ayat (1) Peraturan Menteri Agama RI Nomor 30 Tahun 2005 dan Pasal 23
ayat (1) Kompilasi Hukum Islam.
Menimbang, bahwa sesuai
surat permohonan dan domisili terakhir pemohon, maka Pengadilan Agama
Sungguminasa menunjuk Kantor Urusan Agama Kec. Pallannga, Kab. Gowa sebagai
wali hakim untuk menikahkan pemohon (Ahriana Rukka Binti Syaiful Bachri Rukka)
dengan calon suami pemohon (Tami Sanjaya Bin Muntu Dg. Tulung) sesuai ketentuan
ayat (4) Pasal 21 UU No. 1 Tahun 1974 setelah sebelumnya wali nasab pemohon
dimintai kemali kesediaannya untuk menjadi wali nikah pemohon sebagaimana
dimaksud Pasal 5 ayat (1) Peraturan Menteri Agama RI No. 30 Tahun 2005.
Menimbang, bahwa dengan
pertimbangan-pertimbangan tersebut di muka, maka permohonan pemohon dipandang
terbukti dan cukup memenuhi alasan hukum, dan karenanya dapat diterima dan
dikabulkan.
Menimbang, bahwa
perkara ini termasuk dala bidang hukum perkawinan, maka biaya perkara harus
dibebangkan kepada pemohon sesuai ketentuan Pasal 89 ayat (1) UU No. 7 Tahun
1989.
Mengingat segala ketentuan
perundang-undangan yang berlaku serta hukum syar`i yang berkaitan dengan
perkara ini.
3. Komentar
Berdasarkan kasus yang
ada pada Penetapan Pengadilan Agama di atas, menurut hemat penulis merupakan
suatu tindakan tepat yang diambil oleh pengadila agama. Diterimanya permohonan
Ahriana Rukka Binti Syaiful Bachri Rukka agar segera melangsungkan perkawinan
dengan penetapan wali hakim merupakan langkah untuk menghidarkan seseorang dari
berbuat dosa zina lebih lama lagi. Pengadilan agama dengan segala
pertimbangannya telah menentukan dan menunjuk wali nikah karena wali nasab
pemohon yaitu ayah kandungnya sudah mengingkari atau menolak hak perwaliannya
tampa ada alasan yang dapat diterima dalam hukum. Alasan-alasan penolakan
perkawinan oleh ayah pemohon sama sekali bukan karena melanggar ketentuan
peraturan perundang-undangan dan hukum Islam.
Jika ditinjau dari
aspek hukum Islam yang lebih luas, memang hakim pengadilan agama sebelum menentukan
penetapannya terkait dengan penentuan perwalian, tidak boleh menetapkan wali
nikah sebelum dilakukan pemeriksaan dalam hukum Islam terkait dengan zina. Seharusnya
jika hukum pidana Islam yang berlaku di Indonesia maka hukumannya adalah sesuai
dengan ketentuan hukum pidana Islam dan hakim dalam pertimbangannya tidak boleh
mengatakan bahwa menolak mafsadat didahulukan daripada meraih keselamatan.
Artinya seharusnya para pezina itu dihukum sesuai hukum pidana Islam. Namun, di
Indonesia tidak menggunakan hukum pidana Islam.
Kemudian ketika dilihat
dari segi pengaruh sosialnya, sudah barang tentu jika ada pandangan bahwa
dengan adanya penetapan hakim ini merupakan peluang bagi para calon pasangan
suami istri untuk memaksakan kehendaknya dalam melangsungkan pernikahan apabila
tidak mendapatkan restu atau izin dari wali nasabnya. Menurut hemat penulis
bahwa meskipun penetapan itu dikeluarkan oleh pengadilan agama, namun
pengaruhnya sangat kecil karena dapat dilihat fenomena sekarang bahwa sekalipun
penetapan itu atau sebelum penetapan itu ada, kejadian serupa sudah sering kali
terjadi dalam kehidupan masyarakat.
Sebagai upaya
pencegahan akan hal itu adalah bukan karena penetapannya yang mempengaruhi
terhadap peluang pemaksaan perkawinan oleh calon suami istri melalui perzinaan,
akan tetapi seorang wali nasab seharusnya bijak dalam berfikir, bukan hanya
karena persoalan ketidaksederajatan strata sosial atau pekerjaan yang dijadikan
alasan penolakan untuk menikahkan anaknya. Hal itu tidak dapat dijadikan alasan
penolakan perkawinan disebabkan dalam Islam tidak mengenal adanya kesetaraan
sosial dan dalam ajaran Islam, perkawinan itu adalah membuka pintu rezeki
karena sesungguhnya Allah telah menentukan itu. Manusia sepatutnya tidak merasa
takut untuk kawin hanya dengan alasan takut miskin.
BAB
III
P E N U T U P
A.
Kesimpulan
Perkawinan adalah suatu
pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan perempuan untuk waktu yang
lama. Suatu perkawinan yang sah hanyalah perkawinan yang memenuhi syarat-syarat
yang ditetapkan dalam undang-undang perkawinan dan syarat-syarat serta
peraturan atau hukum agama. Larangan ini termasuk ketertiban umum, artinya
apabila dilanggar selalu diancam dengan pembatalan perkawinan yang
dilangsungkan itu.
Mengenai perwalian perkawinan yang
ada dalam hukum Islam di bagi ke dalam tiga bagian yaitu, wali nasab, wali
hakim, dan wali muhakam. Ketiga jenis wali ini yang paling diutamakan adalah
wali nasab, kemudian wali hakim, dan wali muhakam. Dalam perkawinan, wali nikah
harus diupayakan sesuai dengan urutannya.
Wali nasab dipandang sangat penting
dalam pernikahan karena nasab merupakan sesuatu yang suatu pertalian darah secara
langsung. Wali nasab ini sudah banyak dijelaskan dalam Al-Qur`an dan Hadist
tetntang pentingnya dan keutamaannya.
Mengenai status pernikahan Ahriana
Rukka Binti Syaiful Bachri Rukka adalah sah karena telah mengikuti ketentuan
dan syarat perkawinan baik yang telah ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan maupun dalam ketentuan hukum Islam. Meskipun wali yang
menikahkan bukan wali nasab, akan tetapi bukan karena kehendak kedua mempelai
melainkan kehendak wali nasab yang telah menolak sendiri hak perwaliaannya
tampa alasan yang sesuai dengan hukum.
B.
Saran
Sebagai saran dari
penulis adalah diperlukannya para wali sebagai wali nasab bijak dalam berfikir
agar lebih baik untuk anak-anak mereka. Sebagai orang tua, jangan hanya karena
persoalan kesetaraan sosial menjadikan anak enggang untuk dinikahkan.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdul Karim Zaidan, 1993. Al-Mufassol
fi Ahkam al-Mar’ah (Beirut, Muassasah ar-Risalah tahun 1413 H/ 1993 M) cet. Ke-1
Ibnu Katsir Tafsir Qur’an
Al-Adzim jil
Imam Thabari,
2007. Jami’ul Bayan an Ta’wil Ayil Qur’an (Kairo, Dar as-Salam
tahun 1428 H/2007 M) cet. Ke-2.
Sabian
utsman, 2009. Menuju penegakan hukum
responsif. yokyakarta. Pustaka pelajar.
Satjipto
rahardjo, 2007. Mendudukkan Undang-undang
Dasar (suatu pembahasan dari
optik ilmu hukum umum). Yokyakarta. Penerbit universitas diponegoro semarang.
Sirajuddin,
2016. Analisis sosio-yuridis pemberian
remisi terhadap tindak pidana korupsi
(study kasus lapas kelas 1 a makassar). Universitas Bosowa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar