URGENSI PENATAAN SISTEM
KETATANEGARAAN MELALUI PERUBAHAN KELIMA UNDANG-UNDANG
DASAR 1945
(Tugas Kelompok Mata Kuliah Hukum
Konstitusi dan Kelembagaan Negara)
Dosen Pengajar : Prof. Dr.
Marwan Mas, S.H., M.H.
DISUSUN OLEH;
Kelompok III
Muh. Syahrul Ago :
4618101010
Dedi Yulianto : 4618101001
Rizky Noor Khadafy :
4618101011
Nuryuli Nurdin : 4618101022
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS BOSOWA
2019
KATA
PENGANTAR
Assalamu`alaikum
Warahmatullahi Wabarakatu.
Dengan mengucapkan
rasa syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan segala Rahmat dan
Hidayah-Nya sehingga Kelompok III dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan
Judul “Urgensi Penataan Sistem
Ketatanegaraan Melalui Perubahan Kelima Undang-Undang Dasar 1945” sebagai
salah satu tugas makalah pada mata kuliah Hukum Konstitusi dan Kelembagaan
Negara pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas
Bosowa.
Makalah ini merupakan
usaha keras Kelompok III yang dikaji dari materi perkuliahan dan beberapa
sumber referensi yang kemudian dituangkan dalam bentuk tugas makalah. Makalah
ini berusaha mengkaji mengenai urgensi penataan sistem ketatanegaraan melalui
perubahan kelima Undang-Undang Dasar 1945 dengan berusaha menganalisis perbubahan
yang paling subtansial sehingga mendesak dilakukannya perubahan terhadap
Undang-Undang Dasar 1945.
Ahirnya dengan rendah
hati, Kelompok III mengetahui dan menyadari akan masih banyaknya kekurangan
dari makalah ini. Olehnya itu, Kelompok III sangat mengharapkan kritikan dan
saran melalui diskusi, masih sangat membutuhkan pengajaran dari dosen dan
referensi untuk dipelajari dan dikaji sehingga Kelompok III dapat betul-betul
memahami persoalan hukum pada umumnya dan ketatanegaraan khususnya. Semoga
makalah ini dapat bermanfaat untuk kita dan Allah SWT senantiasa memberikan
limpahan keberkahan ilmu-Nya kepada kita semua, Amin. Insya Allah.
Billahitaufiqi
Wal Hidayah
Wassalamu`alaikum
Warahmatullahi Wabarakatu.
Makassar, 22
April 2019
Penulis,
(Kelompok III)
DAFTAR ISI
Halaman Sampul ----------------------------------------------------------------------------------- i
Kata Pengantar ------------------------------------------------------------------------------------- ii
Daftar Isi ----------------------------------------------------------------------------------------------- iii
A. Pendahuluan ------------------------------------------------------------------------------------ 1
B. Urgensi Penataan dan Penguatan ------------------------------------------------------ 2
C. Empat Subtansi Penguatan ---------------------------------------------------------------- 5
1. Menghidupkan Kembali Garis-Garis Besar Haluan Negara ---------------- 5
2. Memperkuat Sistem Pemerintahan Presidensial ------------------------------- 7
3. Memperkuat Lembaga Perwakilan Rakyat ---------------------------------------- 11
4. Memperkuat Otonomi Daerah --------------------------------------------------------- 13
D. Desain Bikameral yang Efektif ------------------------------------------------------------- 17
E. Penutup -------------------------------------------------------------------------------------------- 18
F. Daftar
Pustaka ----------------------------------------------------------------------------------- 19
A.
PENDAHULUAN
Konstitusi
merupakan hukum dasar berupa kumpulan-kumpulan norma dasar suatu negara yang
memiliki peran penting dalam mengatur penyelenggaraan negara dan menetapkan
kekuasaan. Kosntitusi dalam arti luas diartikan sebagai segala peraturan perundang-undangan
mulai dari yang tertinggi sampai pada jenjang yang terendah di dalam suatu
negara, sementara konstitusi dalam arti sempit adalah hanya sebatas hukum dasar
suatu negara atau sering disebut undang-undang dasar dalam suatu negara. Bahkan
menurut Jimly Asshiddiqie (2014: 96) bahwa konstitusi itu (i) tidak saja aturan
yang tertulis, tetapi juga yang dipraktikkan dalam kegiatan penyelenggaraan
negara, dan (ii) yang diatur itu tidak saja yang berkenaan dengan organ negara
beserta komposisi dan fungsinya, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah
(local government), tetapi juga
mekanisme hubungan antara negara atau organ negara itu dengan warga negara.
Dalam
sejarah perkembangan konstitusi dan ketatanegaraan Indonesia, Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Selanjutnya disebut UUD 1945) sebagai
hukum dasar telah mengalami perubahan atau amandemen sebanyak empat kali yaitu,
dimulai pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002. Dengan adanya perubahan tersebut
tentunya membawa perubahan sistem ketatanegaraan di Indonesia. Akan tetapi,
meskipun telah dilakukan empat kali amandemen, tidak menutup kemungkinan UUD
1945 dilakukan kembali amandemen sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan hukum
konstitusi dan sistem ketatanegaraan. Apalagi UUD 1945 merupakan konstitusi
yang bersifat tertulis sehingga memiliki sifat yang kaku dan rigit.
Sebetulnya,
usul perubahan UUD 1945 sudah lama menjadi suatu topik pembicaraan baik
ditingkap elit politik maupun di kalangan para pengamat hukum konstitusi. Hal
itu dikarenakan masih banyaknya kekurangan dari hasil perubahan yang telah
dilakukan sebanyak emat kali. Salah satu lembaga negara yang paling gigih dalam
mencari dukungan untuk perubahan UUD 1945 adalah Dewan Perwakilan Daerah
(Selanjutnya disebut DPD) melalui deskripsi perjuangan DPD RI menuju amandemen
UUD 1945 yang telah disampaikan pada beberapa seminar.
Perubahan
UUD 1945 memang memungkinkan untuk dilakukan perubahan apabila usul perubahan
itu dilakukan atau usulan sekurang-kurangnya 1/3 Anggota Majelis
Permusyawaratan Rakyat (Selanjutnya disebut MPR). Kemudia yang perlu juga
diingat bahwa yang menjadi objek perubahan hanya pasal-pasal undang-undang
dasar, sehingga pembukaan tidak dapat dijadikan objek perubahan sebagaimana
menurut ketentuan Pasal 37 UUD 1945 begitu juga dengan bentuk negara.
B.
URGENSI
PENATAAN DAN PENGUATAN
Telah
diuraikan sebelumnya bahwa hasil perubahan UUD 1945 yang dilakukan oleh MPR
masih terdapat beberapa kekurangan-kekurangan dan belum sepenuhnya menjamin
penyelenggaraan ketatanegaraan yang lebih baik, karena belum lengkap dan
sistematis sebagai suatu hukum dasar yang komprehensif. Wacana perubahan UUD
1945 terus menguat di ruang publik lantaran warga masyarakat sendiri yang
merasakan secara langsung berbagai kelemahan penyelenggaraan ketatanegaraan
(Marwan Mas, 2018: 169).
Kelemahan-kelemahan
UUD 1945 dapat dirasakan dengan munculnya berbagai persoalan seperti adanya
multitafsir dari pasal-pasal UUD 1945, terjadinya rebutan kewenangan antar
lembaga negara, tidak adanya keseimbangan atau kesenjangan tugas dan kewengan
antara DPR dan DPD sebagaimana dalam sistem bikameral, dan persoalan hak asasi
manusia.
Wacana
perubahan UUD 1945 secara sistematis mengandung makna, bahwa konstitusi harus
memiliki paradigma yang jelas, serta rumusan pasal-pasalnya disusun secara
runtut dan tidak saling bertentangan antara satu dengan yang lainnya, sehingga
tidak menimbulkan multitafsir yang dapat memicu persoalan dalam
implementasinya, terutama pada proses legislasi, pengawasan, dan pelaksanaan
demokrasi (Marwan Mas, 2018: 170).
Menurut
Marwan Mas yang disampaikan dalam beberapa perkuliahan yang diberikan, bahwa
sebetulnya suatu konstitusi yang baik adalah yang memuat lebih dulu hak-hak
warga negaranya selaku pemegang kedaulatan barulah diatur mengenai hal-hal yang
berkaitan dengan penyelenggaraan negara, lembaga negara, dan lain-lain. Berbeda
halnya dengan UUD 1945 yang mengatur masalah hak asasi atau hak-hak warga
negara yang ditempatkan pada bab pertengahan.
Meskipun
demikian, tentu saja diakui bahwa perubahan yang telah dilakukan sebanyak empat
kali memberikan perubahan yang amat mendasar dalam menata kehidupan ketatanegaraan
Indonesia. Diantaranya adalah adanya kebebasan mengemukakan pendapat, kebebasan
pers, penegakan hukum yang semakin membaik, serta penyelenggaraan demokrasi
melalui pemilhan umum. Namun demikian, realitas juga menunjukkan bahwa kalau
semua perbaikan dan paradigma baru itu belum sepenuhnya dilaksanakan dalam
kenyataannya. Antara lain karena perbaikan dan paradigma yang baik itu belum
mampu dijadikan acuan dasar untuk mengefektifkan penyelenggaraan pemerintahan
sesuai dengan tujuan UUD 1945. (Marwan Mas, 2018: 170).
Salah
satu yang banyak dikritisi diberbagai kalangan adalah begitu kuatnya lembaga
legislatif (DPR) dibandingkan eksekutif, sementara DPD sama sekali tidak
dilibatkan dalam membentuk undang-undang (Marwan Mas, 2018: 170). Hal demikian
terjadi karena UUD 1945 sendiri yang memberikan ketentuan secara terbatas
kepada DPD dalam hal pembentukan undang-undang. Misalnya pada Pasal 20 ayat (1)
UUD 1945 yang menentukan bahwa “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan
membentuk undang-undang”. Dari ketentua pasal tersebut tidak ditentukan bahwa
DPR dan DPD tetapi hanya DPR saja. Sementara kewenangan DPD sendiri diatur
dalam Pasal 22D UUD 1945:
(1) Dewan
Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat rancangan
undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,
pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya
alam dan sumber ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan
keuangan pusat dan daerah.
(2) Dewan
Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan
otonomi daerah, hubungan pusan dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan
penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi
lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, serta memberikan
pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang
pendapatan dan belanja negara yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan
agama.
(3) Dewan
Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang
mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah,
hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi
lainnya, pelaksanaan pendapatan dan anggaran belanja negara, pajak pendidikan,
dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada Dewan Perwakilan
Rakyat sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.
Dari ketentuan pasal tersebut di atas,
menunjukkan bahwa kewenangan DPD sangat terbatas. Kewenangannya hanya
mengusulkan rancangan undang-undang kepada DPR dan ikut membahas pada tahap
tertentu saja tampa ikut serta dalam menentukan pembentukan/menetapkan undang-undang
tersebut. Belum lagi yang hanya sebatas pada persoalan daerah, dan APBN yang
hanya berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.
Bahkan dapat dikatakan bahwa DPD hanya
seolah-olah sebagai lembaga yang ikut serta membantu DPR dalam menjalankan
fungsinya. Hal itu dapat dipahami dari ketentuan bahwa DPD dapat melakukan
pengawasan atas pelaksanaan undang-undang sebagai-mana Pasal 22D yang kemudian
hasil pengawasan itu disampaikan kepada DPR hanya sebatas pertimbangan semata.
C.
EMPAT
SUBTANSI PENGUATAN
Setidaknya
ada empat isi subtansial yang patut diapresiasi dalam menata dan menguatkan
kembali sistem ketatanegaraan Indonesia melalui perubahan kelima UUD 1945,
sebagai berikut (Marwan Mas, 2018: 171):
1. Menghidupkan
Kembali Garis-Garis Besar Haluan Negara
Wacana
menghidupkan kembali Garis-garis Besar Haluan Negara (Selanjutnya disebut GBHN)
menjadi polemik di dalam masyarakat. Hal ini terungkap melalui putusan Rakernas
PDIP (12/1/2016) yang didasarkan pada pidato pembukaan Ketua Umum PDIP,
Megawati Sukarnoputri. Wacana itu perlu direspons secara teliti dengan tetap
berdasar pada UUD 1945 hasil empat kali perubahan (amandemen), sebab
menghidupkan kembali GBHN berarti harus melakukan kembali amandemen UUD 1945.
MPR sudah menjadikan agenda amandemen terbatas UUD 1945 dengan memberi wewenang
MPR menetapkan GBHN seperti dimaksud pada Pasal 3 UUD 1945 asli.
Untuk
menelaah wacana menghidupkan kembali GBHN perlu menyimak konteks dan sejarah
GBHN. Pada Bab I Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 asli menegaskan: “Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan
dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)”. Dalam
konteks ini, MPR merupakan penjelmaan rakyat yang memegang dan melaksanakan
kedaulatan rakyat.
Hal
itu juga dapat dilihat pada struktur MPR sebagai penjelmaan mewakili rakyat,
karena mengakomodasi unsur Utusan Daerah dan Utusan Golongan, selain anggota
DPR yang merangkap sebagai anggota MPR. Begitu pula Pasal 3 Naskah asli UUD
1945 yang menyatakan: “Majelis
Permusyawaratan Rakyat menetapkan Undang-Undang Dasar dan Garis-Garis Besar
daripada Haluan Negara”. Maka dari tiu, MPR ditegaskan sebagai lembaga
tertinggi negara yang biasa disebt demokrasi institusional.
Stelah
reformasi, perubahan UUD 1945 menjadi salah satu agenda sehingga dilakukan
empat kali perubahan UUD 1945, antara lain dilakukan pada tanggal 9 November
2001, yaitu Pasal 3 UUD 1945 diubah menjadi:
(1) Majelis
Permusyawaratan Rakyat mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar;
(2) Majelis
Permusyawaratan Rakyat melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden;
(3) Majelis
Permusyawaratan Rakyat hanya dapat memberhenti-kan Presiden dan/atau Wakil
Presiden dalam masa jabatan menurut Undang-Undang Dasar.
Begitu pula Pasal 1 ayat (2) naskah asli UUD
1945 diamandemen sehingga berubah menjadi: “Kedaulatan
berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.
Artinya yang menjadi haluan negara pada saat ini adalah UUD 1945 (konstitusi)
bukan lagi dalam bentuk GBHN.
Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa
apabila ingin menghidupkan kembali GBHN maka otomatis UUD 1945 harus diubah
(amandemen), MPR harus kembali menjadi lembaga tertinggi negara untuk
menetapkan GBHN. Akan tetapi menurut hemat penulis, menghidupkan kembali GBHN
merupakan suatu kemunduran pada sistem ketatanegaraan yang dulu. Padahal dalam
ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 telah mencerminkan dengan baik bahwa
Indonesia telah menempatkan konstitusi pada posisi tertinggi (supremaci of constitutional) di mana
kedaulatan rakyat berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut
undang-undang dasar bukan dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR. Hal mana menurut
Jimly Asshidiqie adalah suatu negara yang baik adalah negara yang diperintah
berdasarkan konstitusi.
Selain itu, menghidupkan kembali GBHN dapat
saja memunculkan persoalan baru, misalnya adanya pertentangan antara GBHN yang ditetapkan
oleh MPR dengan kebijakan yang akan ditetapkan oleh Presiden sehingga
pembangunan bisa saja tidak jalan.
Sebetulnya,
alasan penting timbulnya wacana menghidupkan kembali GBHN seperti yang
dikemukakan oleh PDIP, karena dianggap hampir semua masalah yang dihadapi
bangsa dan negara disebabkan oleh tidak adanya GBHN sebagai haluan untuk
memandu pembangunan nasional yang menjadi tanggung jawab pemerintah secara
umum. Jika dianalisis berdasarkan keadaan sekarang, menurut hemat penulis, GBHN
bukan solusi terbaik untuk dijadikan sebagai pemandu jalannya pembangunan
nasional. Menurut Mahfud MD, sebenarnya GBHN itu sudah diserap ke dalam UUD
1945. Menurut hemat penulis, UUD 1945 adalah pemandu terbaik bagi pembagunan
nasional sebagaimana prinsip supremasi konstitusi, tinggal diatur lagi lebih
lanjut dalam apakah bentuk Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJP)
atau jangka menengah (RPJM) atau sejenisnya. Misalnya, lebih baik memperbaiki
subtansi pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 yang mengatur RPJM
selama 20 Tahun (Marwan Mas, 2018: 177).
2. Memperkuat
Sistem Pemerintahan Presidensial
Penguatan
sistem presidensial pada hakikatnya bukan memperkuat kedudukan presiden,
melainkan sistem pemerintah-annyalah yang perlu diperkuat. Aspek yang perlu
diapresiasi dan diperkuat dalam sistem presidensial (sebagaimana dikaji dari
aspek teori dan realitas dari berbagai negara), adalah (Marwan Mas, 2018: 178);
a. Presiden
dan wakil presiden (termasuk parlemen atau DPR) dipilih langsung oleh rakyat
(Pasal 6A Ayat (1) UUD 1945). Dengan demikian, dalam sistem pemerintahan
presidensial, terjadi dua kali pemilihan umum (pemilu), yaitu pemilu presiden
dan pemilu anggota parlemen, sedangkan dalam sistem pemerintahan parlementer,
hanya satu kali pemilu yaitu pemilu anggota parlemen, kemudian parlemenlah yang
membentuk pemerintahan. Sebagai contoh, di Inggris, seorang hanya bisa diangkat
eksekutif (perdana menteri, menteri, atau deputi menteri) apabila dia dipilih
menjadi anggota parlemen (DPR atau senat/DPD), dan tetap berfungsi sebagai
anggota parlemen.
Dalam sistem parlementer
dapat dipahami bahwa yang mengangkat kepala pemerintahan (perdana menteri,
menteri, atau deputi menteri) adalah parlemen. Dapat dikatakan bahwa
partai-partai pemenang dalam pemilihan umum untuk parlemen (DPR atau Senat/DPD)
membentuk kualisi untuk mengangkat seorang kepala pemerintahan (perdana
menteri, menteri, atau deputi menteri). Sementara partai-partai yang kalah akan
membentuk oposisi untuk mengawasi jalannya pemerintahan. Di sinilah terjadi
proses check and balances atau saling
mengimbangi sehingga apabila terjadi ketidaksesuaian atas kebijakan yang
diambil oleh kepala pemerintahan (perdana menteri, menteri, atau deputi
menteri) dapat saja partai oposisi mengusulkan penggantian kepala pemerintahan
(perdana menteri, menteri, atau deputi menteri) partai pengusun. Sementara
dalam sistem presidensial, kepala pemerintahan yang sekaligus sebagai kepala
negara (presiden) dipilih langsung oleh rakyat bersama dengan pemilihan
parlemen (DPR dan DPD).
Di Indonesia sendiri,
berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (Selanjutnya disebut MK) Nomor
14/PUU-XI/2013 tanggal 23 Januari 2014, bahwa pemilihan presiden dan wakil
presiden berdasarkan Pasal 3 Ayat (5), Pasal 12 Ayat (1) dan Ayat (2), Pasal 14
Ayat (2), dan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan
Umum Presiden dan Wakil Presiden yang intinya pada Pasal 3 Ayat (5) mengatur “pemungutan suara pemilu Presiden dan Wakil
Presiden dilaksanakan paling lama 3 (tiga) bulan setelah pengumuman hasil
pemilihan anggota , DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota”. MK
menyatakan bertentangan dengan UUD 1945 sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat. Dengan demikian, pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan
bersamaan (serentak) dengan pemilihan anggota DPR, DPD, dan DPRD (Anggota
Legislatif) dan menurut MK berlaku untuk penyelenggaraan pemilu tahun 2019 dan
pemilihan seterusnya.
b. Presiden
tidak boleh dijatuhkan (diberhentikan) dalam masa jabatannya karena aspek
politis atas kebijakan presiden yang dinilai salah), tetapi harus dengan aspek
yuridis yaitu melakukan pelanggaran hukum (penghianatan terhadap negara,
korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, serta
terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden).
Hal ini diatur dalam Pasl 7A UUD 1945.
c. Ada
distribusi (pemisahan) kekuasaan, sedangkan dalam sistem pemerintahan
parlementer tidak ada distribusi kekuasaan yang jelas. Kekuasaan legislatif
sepenuhnya pada parlemen, meskipun presiden tetap dapat mengajukan rancangan
undang-undang kepada parlemen (DPR atau Senat/DPD). Presiden tidak ikut
membahas rancangan undang-undang, tetapi presiden memiliki hak menolak (hak
veto) terhadap rancangan undang-undang yang disepakati oleh parlemen (DPR atau
Senat/DPD sebagai dua kamar).
Namun UUD 1945 menganut
pembagian kekuasaan sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 20 Ayat (2) UUD 1945
bahwa “setiap RUU dibahas oleh DPR dan
Presiden untuk mendapat persetujuan bersama”. Ketentuan inilah yang membuat
rancu penguatan sistem presidensial, karena meskipun kekuasaan membentuk
undang-undang ada pada DPR (Pasal 20 Ayat (1) UUD 1945), tetapi presiden tetap
diberi kekuasaan untuk membahas RUU bersama dengan DPR.
Aspek inilah yang perlu
dalam perubahan kelima UUD 1945, kalau Indonesia memang konsisten menganut
sistem pemerintahan presidensial dengan menetapkan DPD sejajar dengan DPR
sebagai pembentuk undang-undang dalam dua kamar (bicameral system).
d. Fokus
kekuasaan eksekutif (pemerintahan) ada pada presiden, tetapi presiden dalam
menyelenggarakan pemerintahan tetap diawasi oleh parlemen, serta ada check and balances yang jelas dalam
penyelenggaraan pemerintahan.
e. Masa
jabatan presiden yang tetap (fixed terms)
yang diatur dalam Pasal 7 UUD 1945, serta presiden sekaligus berkedudukan
sebagai kepala pemerintahan (chief
executief) dan kepala negara (chief
of state). Sementara dalam sistem pemerintahan parlementer, kepala
pemerintahan dan kepala negara dipegang oleh orang yang berbeda. Misalnya,
kepala pemerintahan dipegang oleh perdana menteri dan kepala negara dipegang
oleh raja atau ratu atau sebutan lainnya.
Presiden (baik selaku kepala negara maupun
kepala pemerintahan) tidak dapat membekukan atau membubarkan DPR (Pasal 7C UUD
1945). Para menteri (anggota kabinet) diangkat dan diberhentikan oleh presiden
dan tentu saja bertanggung jawab penuh kepada presiden (Pasal 17 Ayat (2) UUD
1945. Sementara dalam sistem pemerintahan parlementer, perdana menteri
(eksekutif) selaku kepala pemerintahan dan anggota kabinet diangkat dan
diberhentikan oleh parlemen dan memiliki hak menyatakan mosi tidak percaya
kepada kepala pemerintahan.
3. Memperkuat
Lembaga Perwakilan Rakyat
Untuk
memperkuat lembaga perwakilan rakyat, maka MPR harus didesain yang terdiri atas
DPR dan DPD sebagai lembaga negara, bukan terdiri atas anggota DPR dan anggota
DPD. Hal sangat subtansial dalam pengambilan keputusan bersama yang harus
dilihat pada eksistensi lembaga bukan pada jumlah anggota sehingga tercipta
keseimbangan dalam dua kamar legislasi.
Dari
uaraian di atas muncul pertanyaan kemudian, bahwa apabila eksistensi lembaga
bukan pada jumlah anggota antara DPR dan DPD yang ada dalam anggota MPR untuk
tercipta keseimbangan, maka bagaimana apabila terjadi voting dalam keputusan
yang akan diambil ?. Tentu saja jumlah anggota DPD akan kalah suaranya
dibandingkan dengan DPR yang jumlahnya lebih banyak. Menurut hemat penulis,
mungkin di sini perlu diperhitungkan jumlah anggota MPR yang harus seimbang
antara anggota DPR dan DPD. Misalnya dalam komposisi keanggotaan MPR harus
dipilih utusan dari lembaga DPR 10 orang dan dari lembaga DPD 10 orang. 10
orang masing-masing adalah utusan dari kedua lembaga yang telah disepakati oleh
masing-masing lembaga tersebut.
Sementara
itu, jika dilihat kewenangan DPD sekarang yang terdapat dalam Pasal 22D UUD
1945 yang berkaitan dengan legislasi, hanya sekedar mengajukan RUU kepada DPR
berkaitan dengan otonomi daerah (Otoda), hubungan pusat dan daerah,
pembentukan, pemekaran, dan pembangunan daerah, pengelo-laan sumber daya alam
dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan antara pusat dan
daerah; tentu perlu diperkuat dengan prinsip kesetaraan dalam dua kamar.
Meskipun DPD ikut membahas RUU tersebut (termasuk diberi kewenangan pengawasan
terhadap pelaksanan undang-undang yang berkaitan dengan Pasal 22D UUD 1945,
tetapi pemberian kewenangan tersebut hanya separuh hati, karena DPD tidak ikut
menentukan pembentukan (penetapan) RUU sebagai rohnya kekuasaan legislatif.
Mekanisme
penguatan peran DPD dalam perubahan kelima UUD 1945 didesain dalam dua kamar
terhadap pengusulan, pembahasan, dan penetapan RUU menjadi undang-undang, yang
dapat dilihat sebagai berikut:
a. DPR
dan DPD (termasuk presiden) dapat mengajukan RUU kepada DPR atau kepada DPD.
Mengajukan RUU artinya RUU dari DPR diajukan kepada DPD, begitupula sebaliknya,
untuk dibahas dan disetujui, mengusulkan perubahan, atau bahkan menolak RUU
yang diajukan itu;
b. Jika
RUU disetujui oleh DPR atau DPD (secara bersama), maka RUU tersebut disampaikan
kepada presiden untuk disahkan menjadi undang-undang;
c. Apabila
DPR atau DPD mengusulkan adanya perubahan dalam rancangan undang-undang yang
diajukan itu, maka DPR dan DPD membentuk panitia bersama untuk membahasnya.
Sebaliknya jika RUU itu ditolak oleh DPR atau DPD, maka RUU bersangkutan tidak
dapat diajukan kembali dalam masa persidangan saat itu.
Presiden dapat menolak mengesahkan (hak veto)
RUU yang telah disetujui oleh DPR dan DPD. Namun, RUU yang ditolak presiden sah
menjadi undang-undang jika disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 anggota DPR
atau 2/3 anggota DPD dengan menentukan batas waktunya untuk disahkan. Berdasarkan
Pasal 20 Ayat (5) UUD 1945, batas waktu RUU yang tidak disahkan oleh presiden
menjadi undang-undang adalah tiga puluh hari.
4. Memperkuat
Otonom Daerah
Mengakomodir
keberangaman bangsa (etnis, agama, dan kultur), paling tidak akan memulihkan
kepercayaan rakyat di daerah dalam melaksnakan otonomi daerah. Biarlah proses
demokrasi berjalan di daerah dengan memberdayakan rakyat di semua tingkatan.
Semua komponen bangsa perlu memahami, bahwa reformasi adalah pembebasan manusia
dari keterbelakang-an dan pembodohan menuju kehidupan yang lebih baik. Untuk
mencapai hal tersebut, dibutuhkan pemimpin yang jujur dan konsisten, serta
memiliki kepekaan kerakyatan dengan idealisasi watak yang bermuara pada
penyelesaian krisis. Bukan yang menimbulkan resistensi karena terlibat korupsi,
kolusi, dan nepotisme (KKN) dan ingin kembali menerapkan setralisasi.
Berbagai
isu negatif yang berkembang dalam masyarakat tentang pelaksanaan otoda yang
berkaitan dengan pemicu terjadinya disentigrasi bangsa, sungguh memprihatinkan
di tengah harapan rakyat agar memperoleh penghidupan yang lebih baik. Fenomena
ini dapat membangun “image negatif” dengan menggunakan berbagai cara, padahal
otoda merupakan konkretisasi dari asas desentralisasi yang memberi kewenangan
yang lebih besar kepada pemerintah daerah/kota untuk menyelenggarakan
pemerintahan dan pembangunan sendiri tetapi tetap dalam keutuhan NKRI.
Bagi
daerah/kota yang kaya akan sumber daya alamnya, kehadiran otoda disambut dengan
antusias dan penuh gairah. Namun bagi daerah/kota yang miskin sumber daya
alamnya, justru masih ada yang ragu-ragu dan bersikap dingin karena merasa
tidak akan mampu memenuhi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerahnya (APBDnya)
tampa bantuan maksimal dari pemerintah pusat.
Otoda
mestinya diposisikan sebagai “instrumen pemberdaya-an” daerah/kota yang
disinergikan dengan aspek diversitas untuk memperkuat integrasi nasional. Bukan
menyuburkan KKN dari pusat ke daerah, atau membentuk feodalisme baru di daerah.
Di sini perlunya dipahami bahwa desentralisasi butuh regulasi nasional tampa
perlu membelenggu pelaksanaan otonomi itu sendiri.
Hakikat
otoda bukan semata-mata “pemberian wewenang” yang lebih luas kepada daerah
dalam mengatur dirinya sendiri, tetapi juga ada komitmen untuk menggali potensi
daerah. Di dalamnya membuka peluang agar
lebih kreatif menggali potensi dan dikelola secara bijak. Tidak mungkin otoda
terselenggara dengan baik, bila pemerintah pusat yang lebih dominan. Akan
tetapi, juga tidak diharapkan agar pemerintah pusat lemah karena dapat
mengakibatkan rakyat di daerah/kota jadi korban, bila membiarkan pemerintah
daerah/kota jalan sendiri tanpa pembinaan dan pengawasan.
Konsep
otoda dan pola pemerintahan di daerah secara konsisten mengikuti perkembangan
teori, terutama pada hubungan antara pemerintah pusan dan pemerintah daerah.
Dalam konteks bentuk negara, ada yang disebut negara kesatuan den negara
federal. Dalam konteks negara kesatuan, dibentuk dan dibagi ke dalam beberapa
daerah, sehingga pola kekuasaan negara pada hakikatnya berada pada pemerintah
pusat, kemudian kekuasaan itu dibagi ke daerah.
Pasal
18 Ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa “Negara
Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah
provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten
dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.”
Sedangkan dalam negara federal, seperti Amerika Serikat, pola kekuasaan
diinisiasi oleh daerah-daerah atau negara bagian untuk kemudian membentuk
negara. Dengan demikia, hakikat kekuasaan negara berasal dari daerah, yang
kemudian diserahkan kepada negara federal (pusat).
Secara
teoritis (Rondinelli dan Cheema dalam Marwan Mas, 2018: 185) beberapa desain
atau model desentralisasi, sebagai berikut:
a. Dekonsentrasi,
yaitu suatu pola distribusi wewenang administrasi dalam struktur pemerintahan;
b. Delegasi,
yaitu apa pendelegasian otoritas manajemen dan pengambilan keputusan atas
fungsi-fungsi tertentu yang diberikan kepada organisasi-organisasi yang secara
langsung tidak di bawah kontrol pemerintah;
c. Devolusi,
yaitu menyerahkan fungsi dan otoritas dari pemerintah pusat ke pemerintah
daerah;
d. Privatisasi,
yaitu menyerahkan beberapa otoritas dalam perencanaan dan tanggung jawab
administrasi tertentu kepada organisasi swasta.
Keempat model desentralisasi di atas, pada
dasarnya memayungi pengertian pelaksanaan desentralisasi dalam bentuk otonomi
dan tugas pembantuan. Hanya saja, satu aspek yang perlu diapresiasi dan
dipertahankan adalah kalimat otonomi yang akan menggairahkan penguatan daerah. Sedangkan
kata desentralisasi merupakan payung dari berbagai variannya yang boleh jadi
sebagai upaya mengurangi model sentralisasi. Untuk memperkuat otonomi daerah
dalam perubahan kelima UUD 1945, beberapa subtansi perlu diapresiasi, yaitu;
a. Hubungan
pemerintah pusat dan pemerintah daerah
Dalam
desain perubahan konstitusi ke depan, ada dua pola hubungan yang perlu
diperkuat, yaitu: (1) pola hubungan antara pusat dan provinsi; (2) pola
hubungan antara provinsi dan kabupaten/kota. Dengan demikian, pusat hanya berhubungan
dengan provinsi secara langsung, sedangkan hubungan pusat kedaerah adalah
hubungan secara tidak langsung atau hubungan bertingkat, yaitu harus melalui
provinsi. Pola hubungan yang bertingkat ini diharapkan akan mewujudkan
efektivitas berjalannya roda unit-unit pemerinta-han dalam NKRI.
b. Pemerintahan
Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
DPRD
harus diberikan posisi sebagai pelaksana fungsi legislasi, anggaran, dan
pengawasan di daerah. Pola pelaksanaan fungsi legislasinya adalah menyusun dan
menetapkan Peraturan Darerah (perda), fungsi anggaran adalah menyusun anggaran
daerah, dan pengawasan adalah mengawasi pemerintah daerah.
c. Prose
Legislasi Daerah
Desain
penguatan legislasi daerah, tetap mencontoh pola legislasi di pusat dengan
model legislasi presidensial, sehingga eksekutif daerah tidak ikut membahas
rancangan perda, meski tetap dapat mengajukan rancangan perda. Perbedaan yang
prinsip dengan proses legislasi di pusat adalah kepala daerah (eksekutif
daerah) tidak boleh menolak, mengesahkan (hak veto) rancangan perda yang telah
ditetapkan oleh DPRD, karena kontrol terhadap perda dapat dilakukan oleh
pengadilan melalui Mahkamah Agung (MA) apabila bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan di atasnya.
d. Perkuat
Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung dan Serentak
Prinsip
pemilihan umum kepala daerah tetap diperkuat, yaitu dipilih secara langsung
oleh rakyat di daerah. Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 menetapkan model pemilihan
kepala daerah (gubernur, bupati, dan walikota) dengan frasa dipilih secara demokratis
yang boleh dimaknai dapat melalui perwakilan atau juga dipilih secara langsung
oleh rakyat. Dalam Pasal 24 Ayat (5) UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah memilih makna “dipilih secara demokratis” dengan dipilih
secara langsung oleh rakyat di daerah bersangkutan.
Pemilihan
secara langsung oleh rakyat harus tetap dipertahankan dan dikonkretkan dalam
UUD 1945, sebagai penghargaan tertinggi atas aspirasi daerah untuk memilih
kepala daerahnya. Kendati demikian, untuk daerah-daerah khusus dan
daerah-daerah istimewa, undang-undang boleh mengatur dengan model pemilihan
yang berbeda. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 18B Ayat (1) UUD 1945 bahwa “Negara mengakui dan menghormati
satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa
yang diatur dengan undang-undang.”
D.
DESAIN
BIKAMERAL YANG EFEKTIF
Agenda
penting dan krusial dalam perubahan kelima UUD 1945 adalah bagaimana DPD
berperan dalam bikameral yang efektif sebagai konsekuensi terbentuknya dua
kamar dalam badan legislatif. Selama ini, keberadaan DPD tidak lebih sebagai
aksesoris demokrasi dalam sistem perwakilan. Jika pun DPR sering menuntut agar
DPD bekerja dan berbuat terlebih dahulu barulah menuntut penambahan kewenangan,
tentu tidak begitu saja diterima. Apa yang mesti dikerjakan hanya sekedar
mengusulkan RUU atau memberikan pertimbangan, tetapi tidak turut membentuknya.
Apa yang dituntut DPD bukan kepentingan anggota DPD yang ada sekarang, tetapi
kepentingan rakyat secara luas yang menghuni daerah otonomi (Marwan Mas, 2018:
190).
Menyetarakan
kewenangan DPD dengan DPR merupakan keniscaayaan di tengah kekecewaan rakyat
terhadap DPR yang lebih sering mengabaikan aspirasi yang diwakilinya saat
membuat regulasi. Partai politik yang mayoritas menghuni anggota MPR tidak membelenggu
harapan rakyat, karena DPD sebagai perwakilan daerah/wilayah (regional representation) dapat bekerja
sama dengan DPR dalam proses legislasi, anggaran, dan pengawasan. Tidak
memadainya kewenangan DPD, membuat kabur mekanisme mengimbangi dan mengawasi
dalam proses legislasi (check and
balances) yang dapat bermuara pada delegitimasi partai politik yang terus
melorot kredibilitasnya di mata rakyat (Marwan Mas, 2018: 190).
Untuk
menyempurnakan UUD 1945 perlu dilakukan perubahan komprehensif yang bukan hanya
mendesain penguatan DPD dalam sistem dua kamar (bikameral system) yang efektif, tetapi juga penguatan sistem
presidensial, hak asasi manusia, otonomi daerah dan hubungan pemerintah pusat
dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan ekonomi, serta sistematika UUD
1945 yang sesuai dengan teori pembentukan konstitusi. UUD 1945 sebagai hukum
dasar tetap butuh perbaikan sejalan dengan kebutuhan dan perkembangan kehidupan
berbangsa dan bernegara.
E.
PENUTUP
Sebagai penutup, dapat
disimpulkan ke dalam beberapa poin penting sebagaimana tema yang telah diangkat
yaitu Urgensi Penguatan Sistem Ketatanegaraan melalui Perubahan UUD 1945;
1. Menghidupkan
kembali GBHN, menurut kami bahwa menghidup-kan kembali GBHN merupakan suatu
kemunduran dalam sistem ketatanegaraan kita. Tentu saja kami tidak setuju
adanya perubahan UUD 1945 hanya dengan alasan semata menghidup-kan kembali
GBHN. Hal itu disebabkan karena pada prinsipnya UUD 1945 dapat dijadikan
sebagai pemandu dalam pembangunan nasional yang kemudian tinggal direalisasikan
dalam bentuk RPJP atau RPJM begitu juga di daerah.
2. Memperkuat
Sistem Pemerintahan Presidensial, menurut hemat kami, Indonesia harus konsisten
dalam sistem pemerintahan yang dianutnya jika memang mau menerapkan sistem
pemerintahan presidensial melalui perubahan kelima UUD 1945. Dengan demikian,
presiden harus fokus dalam menyelenggarakan pemerintahan tampa harus ikut
campur dalam pembahasan rancangan undang-undang. Indonesia harus memberikan
posisi kepada DPD sejajar dengan DPR sebagai pembentuk undang-undang
sebagaimana sistem dua kamar dalam sistem pemerintahan presidensial.
3. Memperkuat
Lembaga Perwakilan Rakyat, untuk mendesain sistem dua kamar yang efektif perlu
dilakukan penguatan DPD melalui perubahan UUD 1945. Terutama dalam komposisi
keanggotaan MPR yang harus seimbang antara utusan dari DPR dan utusan dari DPD.
Masing-masing utusan yang dipilih DPR untuk mewakili ke MPR adalah yang telah
disepakati begitu juga dengan DPD. Kemudian perluasan kewenangan DPD sama
seperti DPR dalam mengusul, membahas, dan menetapkan RUU dan bukan hanya yang
terkait dengan otonomi daerah tetapi juga hal lainnya.
F.
DAFTAR
PUSTAKA
Sumber Utama :
Marwan Mas, 2018. Hukum Konstitusi dan Kelembagaan Negara. Depok.
Rajawali Pers.
Sumber Pelengkap :
Badan Pengembangan Kapasitas
Kelembagaan Dewan Perwakilan Daerah,
2016. Deskripsi Perjuangan DPD RI: Menuju
Amandemen
UUD 1945. Sekretariat Jendral DPD RI.
Jimly Asshiddiqie, 2014. Pengantar Hukum Tata Negara. Depok. Rajawali Pers.