Kamis, 04 Juli 2019

URGENSI PENATAAN SISTEM KETATANEGARAAN MELALUI PERUBAHAN KELIMA UNDANG-UNDANG DASAR 1945



URGENSI PENATAAN SISTEM KETATANEGARAAN MELALUI PERUBAHAN KELIMA UNDANG-UNDANG
DASAR 1945

(Tugas Kelompok Mata Kuliah Hukum Konstitusi dan Kelembagaan Negara)

Dosen Pengajar : Prof. Dr. Marwan Mas, S.H., M.H.

 








DISUSUN OLEH;
Kelompok III

Muh. Syahrul Ago : 4618101010
Dedi Yulianto : 4618101001
Rizky Noor Khadafy : 4618101011
Nuryuli Nurdin : 4618101022




PROGRAM STUDI ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS BOSOWA
2019





KATA PENGANTAR
Assalamu`alaikum Warahmatullahi Wabarakatu.
Dengan mengucapkan rasa syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan segala Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga Kelompok III dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan Judul “Urgensi Penataan Sistem Ketatanegaraan Melalui Perubahan Kelima Undang-Undang Dasar 1945” sebagai salah satu tugas makalah pada mata kuliah Hukum Konstitusi dan Kelembagaan Negara pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Bosowa.
Makalah ini merupakan usaha keras Kelompok III yang dikaji dari materi perkuliahan dan beberapa sumber referensi yang kemudian dituangkan dalam bentuk tugas makalah. Makalah ini berusaha mengkaji mengenai urgensi penataan sistem ketatanegaraan melalui perubahan kelima Undang-Undang Dasar 1945 dengan berusaha menganalisis perbubahan yang paling subtansial sehingga mendesak dilakukannya perubahan terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
Ahirnya dengan rendah hati, Kelompok III mengetahui dan menyadari akan masih banyaknya kekurangan dari makalah ini. Olehnya itu, Kelompok III sangat mengharapkan kritikan dan saran melalui diskusi, masih sangat membutuhkan pengajaran dari dosen dan referensi untuk dipelajari dan dikaji sehingga Kelompok III dapat betul-betul memahami persoalan hukum pada umumnya dan ketatanegaraan khususnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk kita dan Allah SWT senantiasa memberikan limpahan keberkahan ilmu-Nya kepada kita semua, Amin. Insya Allah.
Billahitaufiqi Wal Hidayah
Wassalamu`alaikum Warahmatullahi Wabarakatu.

Makassar, 22 April 2019    
Penulis,
(Kelompok III)


DAFTAR ISI

Halaman Sampul -----------------------------------------------------------------------------------  i
Kata Pengantar -------------------------------------------------------------------------------------  ii
Daftar Isi -----------------------------------------------------------------------------------------------  iii

A.  Pendahuluan ------------------------------------------------------------------------------------  1
B.  Urgensi Penataan dan Penguatan ------------------------------------------------------  2
C. Empat Subtansi Penguatan ----------------------------------------------------------------  5
1.    Menghidupkan Kembali Garis-Garis Besar Haluan Negara ----------------  5
2.    Memperkuat Sistem Pemerintahan Presidensial -------------------------------  7
3.    Memperkuat Lembaga Perwakilan Rakyat ----------------------------------------  11
4.    Memperkuat Otonomi Daerah ---------------------------------------------------------  13
D. Desain Bikameral yang Efektif -------------------------------------------------------------  17
E.  Penutup --------------------------------------------------------------------------------------------  18
F.  Daftar Pustaka -----------------------------------------------------------------------------------  19




A.     PENDAHULUAN
Konstitusi merupakan hukum dasar berupa kumpulan-kumpulan norma dasar suatu negara yang memiliki peran penting dalam mengatur penyelenggaraan negara dan menetapkan kekuasaan. Kosntitusi dalam arti luas diartikan sebagai segala peraturan perundang-undangan mulai dari yang tertinggi sampai pada jenjang yang terendah di dalam suatu negara, sementara konstitusi dalam arti sempit adalah hanya sebatas hukum dasar suatu negara atau sering disebut undang-undang dasar dalam suatu negara. Bahkan menurut Jimly Asshiddiqie (2014: 96) bahwa konstitusi itu (i) tidak saja aturan yang tertulis, tetapi juga yang dipraktikkan dalam kegiatan penyelenggaraan negara, dan (ii) yang diatur itu tidak saja yang berkenaan dengan organ negara beserta komposisi dan fungsinya, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah (local government), tetapi juga mekanisme hubungan antara negara atau organ negara itu dengan warga negara.
Dalam sejarah perkembangan konstitusi dan ketatanegaraan Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Selanjutnya disebut UUD 1945) sebagai hukum dasar telah mengalami perubahan atau amandemen sebanyak empat kali yaitu, dimulai pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002. Dengan adanya perubahan tersebut tentunya membawa perubahan sistem ketatanegaraan di Indonesia. Akan tetapi, meskipun telah dilakukan empat kali amandemen, tidak menutup kemungkinan UUD 1945 dilakukan kembali amandemen sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan hukum konstitusi dan sistem ketatanegaraan. Apalagi UUD 1945 merupakan konstitusi yang bersifat tertulis sehingga memiliki sifat yang kaku dan rigit.
Sebetulnya, usul perubahan UUD 1945 sudah lama menjadi suatu topik pembicaraan baik ditingkap elit politik maupun di kalangan para pengamat hukum konstitusi. Hal itu dikarenakan masih banyaknya kekurangan dari hasil perubahan yang telah dilakukan sebanyak emat kali. Salah satu lembaga negara yang paling gigih dalam mencari dukungan untuk perubahan UUD 1945 adalah Dewan Perwakilan Daerah (Selanjutnya disebut DPD) melalui deskripsi perjuangan DPD RI menuju amandemen UUD 1945 yang telah disampaikan pada beberapa seminar.
Perubahan UUD 1945 memang memungkinkan untuk dilakukan perubahan apabila usul perubahan itu dilakukan atau usulan sekurang-kurangnya 1/3 Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (Selanjutnya disebut MPR). Kemudia yang perlu juga diingat bahwa yang menjadi objek perubahan hanya pasal-pasal undang-undang dasar, sehingga pembukaan tidak dapat dijadikan objek perubahan sebagaimana menurut ketentuan Pasal 37 UUD 1945 begitu juga dengan bentuk negara.

B.    URGENSI PENATAAN DAN PENGUATAN
Telah diuraikan sebelumnya bahwa hasil perubahan UUD 1945 yang dilakukan oleh MPR masih terdapat beberapa kekurangan-kekurangan dan belum sepenuhnya menjamin penyelenggaraan ketatanegaraan yang lebih baik, karena belum lengkap dan sistematis sebagai suatu hukum dasar yang komprehensif. Wacana perubahan UUD 1945 terus menguat di ruang publik lantaran warga masyarakat sendiri yang merasakan secara langsung berbagai kelemahan penyelenggaraan ketatanegaraan (Marwan Mas, 2018: 169).
Kelemahan-kelemahan UUD 1945 dapat dirasakan dengan munculnya berbagai persoalan seperti adanya multitafsir dari pasal-pasal UUD 1945, terjadinya rebutan kewenangan antar lembaga negara, tidak adanya keseimbangan atau kesenjangan tugas dan kewengan antara DPR dan DPD sebagaimana dalam sistem bikameral, dan persoalan hak asasi manusia.
Wacana perubahan UUD 1945 secara sistematis mengandung makna, bahwa konstitusi harus memiliki paradigma yang jelas, serta rumusan pasal-pasalnya disusun secara runtut dan tidak saling bertentangan antara satu dengan yang lainnya, sehingga tidak menimbulkan multitafsir yang dapat memicu persoalan dalam implementasinya, terutama pada proses legislasi, pengawasan, dan pelaksanaan demokrasi (Marwan Mas, 2018: 170).
Menurut Marwan Mas yang disampaikan dalam beberapa perkuliahan yang diberikan, bahwa sebetulnya suatu konstitusi yang baik adalah yang memuat lebih dulu hak-hak warga negaranya selaku pemegang kedaulatan barulah diatur mengenai hal-hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara, lembaga negara, dan lain-lain. Berbeda halnya dengan UUD 1945 yang mengatur masalah hak asasi atau hak-hak warga negara yang ditempatkan pada bab pertengahan.
Meskipun demikian, tentu saja diakui bahwa perubahan yang telah dilakukan sebanyak empat kali memberikan perubahan yang amat mendasar dalam menata kehidupan ketatanegaraan Indonesia. Diantaranya adalah adanya kebebasan mengemukakan pendapat, kebebasan pers, penegakan hukum yang semakin membaik, serta penyelenggaraan demokrasi melalui pemilhan umum. Namun demikian, realitas juga menunjukkan bahwa kalau semua perbaikan dan paradigma baru itu belum sepenuhnya dilaksanakan dalam kenyataannya. Antara lain karena perbaikan dan paradigma yang baik itu belum mampu dijadikan acuan dasar untuk mengefektifkan penyelenggaraan pemerintahan sesuai dengan tujuan UUD 1945. (Marwan Mas, 2018: 170).
Salah satu yang banyak dikritisi diberbagai kalangan adalah begitu kuatnya lembaga legislatif (DPR) dibandingkan eksekutif, sementara DPD sama sekali tidak dilibatkan dalam membentuk undang-undang (Marwan Mas, 2018: 170). Hal demikian terjadi karena UUD 1945 sendiri yang memberikan ketentuan secara terbatas kepada DPD dalam hal pembentukan undang-undang. Misalnya pada Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 yang menentukan bahwa “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang”. Dari ketentua pasal tersebut tidak ditentukan bahwa DPR dan DPD tetapi hanya DPR saja. Sementara kewenangan DPD sendiri diatur dalam Pasal 22D UUD 1945:
(1)    Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
(2)    Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusan dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang pendapatan dan belanja negara yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.
(3)    Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan pendapatan dan anggaran belanja negara, pajak pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.
Dari ketentuan pasal tersebut di atas, menunjukkan bahwa kewenangan DPD sangat terbatas. Kewenangannya hanya mengusulkan rancangan undang-undang kepada DPR dan ikut membahas pada tahap tertentu saja tampa ikut serta dalam menentukan pembentukan/menetapkan undang-undang tersebut. Belum lagi yang hanya sebatas pada persoalan daerah, dan APBN yang hanya berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.
Bahkan dapat dikatakan bahwa DPD hanya seolah-olah sebagai lembaga yang ikut serta membantu DPR dalam menjalankan fungsinya. Hal itu dapat dipahami dari ketentuan bahwa DPD dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang sebagai-mana Pasal 22D yang kemudian hasil pengawasan itu disampaikan kepada DPR hanya sebatas pertimbangan semata.

C.    EMPAT SUBTANSI PENGUATAN
Setidaknya ada empat isi subtansial yang patut diapresiasi dalam menata dan menguatkan kembali sistem ketatanegaraan Indonesia melalui perubahan kelima UUD 1945, sebagai berikut (Marwan Mas, 2018: 171):
1.    Menghidupkan Kembali Garis-Garis Besar Haluan Negara
Wacana menghidupkan kembali Garis-garis Besar Haluan Negara (Selanjutnya disebut GBHN) menjadi polemik di dalam masyarakat. Hal ini terungkap melalui putusan Rakernas PDIP (12/1/2016) yang didasarkan pada pidato pembukaan Ketua Umum PDIP, Megawati Sukarnoputri. Wacana itu perlu direspons secara teliti dengan tetap berdasar pada UUD 1945 hasil empat kali perubahan (amandemen), sebab menghidupkan kembali GBHN berarti harus melakukan kembali amandemen UUD 1945. MPR sudah menjadikan agenda amandemen terbatas UUD 1945 dengan memberi wewenang MPR menetapkan GBHN seperti dimaksud pada Pasal 3 UUD 1945 asli.
Untuk menelaah wacana menghidupkan kembali GBHN perlu menyimak konteks dan sejarah GBHN. Pada Bab I Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 asli menegaskan: “Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)”. Dalam konteks ini, MPR merupakan penjelmaan rakyat yang memegang dan melaksanakan kedaulatan rakyat.
Hal itu juga dapat dilihat pada struktur MPR sebagai penjelmaan mewakili rakyat, karena mengakomodasi unsur Utusan Daerah dan Utusan Golongan, selain anggota DPR yang merangkap sebagai anggota MPR. Begitu pula Pasal 3 Naskah asli UUD 1945 yang menyatakan: “Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan Undang-Undang Dasar dan Garis-Garis Besar daripada Haluan Negara”. Maka dari tiu, MPR ditegaskan sebagai lembaga tertinggi negara yang biasa disebt demokrasi institusional.
Stelah reformasi, perubahan UUD 1945 menjadi salah satu agenda sehingga dilakukan empat kali perubahan UUD 1945, antara lain dilakukan pada tanggal 9 November 2001, yaitu Pasal 3 UUD 1945 diubah menjadi:
(1)   Majelis Permusyawaratan Rakyat mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar;
(2)   Majelis Permusyawaratan Rakyat melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden;
(3)   Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dapat memberhenti-kan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatan menurut Undang-Undang Dasar.
Begitu pula Pasal 1 ayat (2) naskah asli UUD 1945 diamandemen sehingga berubah menjadi: “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Artinya yang menjadi haluan negara pada saat ini adalah UUD 1945 (konstitusi) bukan lagi dalam bentuk GBHN.
Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa apabila ingin menghidupkan kembali GBHN maka otomatis UUD 1945 harus diubah (amandemen), MPR harus kembali menjadi lembaga tertinggi negara untuk menetapkan GBHN. Akan tetapi menurut hemat penulis, menghidupkan kembali GBHN merupakan suatu kemunduran pada sistem ketatanegaraan yang dulu. Padahal dalam ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 telah mencerminkan dengan baik bahwa Indonesia telah menempatkan konstitusi pada posisi tertinggi (supremaci of constitutional) di mana kedaulatan rakyat berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar bukan dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR. Hal mana menurut Jimly Asshidiqie adalah suatu negara yang baik adalah negara yang diperintah berdasarkan konstitusi.
Selain itu, menghidupkan kembali GBHN dapat saja memunculkan persoalan baru, misalnya adanya pertentangan antara GBHN yang ditetapkan oleh MPR dengan kebijakan yang akan ditetapkan oleh Presiden sehingga pembangunan bisa saja tidak jalan.
 Sebetulnya, alasan penting timbulnya wacana menghidupkan kembali GBHN seperti yang dikemukakan oleh PDIP, karena dianggap hampir semua masalah yang dihadapi bangsa dan negara disebabkan oleh tidak adanya GBHN sebagai haluan untuk memandu pembangunan nasional yang menjadi tanggung jawab pemerintah secara umum. Jika dianalisis berdasarkan keadaan sekarang, menurut hemat penulis, GBHN bukan solusi terbaik untuk dijadikan sebagai pemandu jalannya pembangunan nasional. Menurut Mahfud MD, sebenarnya GBHN itu sudah diserap ke dalam UUD 1945. Menurut hemat penulis, UUD 1945 adalah pemandu terbaik bagi pembagunan nasional sebagaimana prinsip supremasi konstitusi, tinggal diatur lagi lebih lanjut dalam apakah bentuk Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJP) atau jangka menengah (RPJM) atau sejenisnya. Misalnya, lebih baik memperbaiki subtansi pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 yang mengatur RPJM selama 20 Tahun (Marwan Mas, 2018: 177).
2.    Memperkuat Sistem Pemerintahan Presidensial
Penguatan sistem presidensial pada hakikatnya bukan memperkuat kedudukan presiden, melainkan sistem pemerintah-annyalah yang perlu diperkuat. Aspek yang perlu diapresiasi dan diperkuat dalam sistem presidensial (sebagaimana dikaji dari aspek teori dan realitas dari berbagai negara), adalah (Marwan Mas, 2018: 178);
a.     Presiden dan wakil presiden (termasuk parlemen atau DPR) dipilih langsung oleh rakyat (Pasal 6A Ayat (1) UUD 1945). Dengan demikian, dalam sistem pemerintahan presidensial, terjadi dua kali pemilihan umum (pemilu), yaitu pemilu presiden dan pemilu anggota parlemen, sedangkan dalam sistem pemerintahan parlementer, hanya satu kali pemilu yaitu pemilu anggota parlemen, kemudian parlemenlah yang membentuk pemerintahan. Sebagai contoh, di Inggris, seorang hanya bisa diangkat eksekutif (perdana menteri, menteri, atau deputi menteri) apabila dia dipilih menjadi anggota parlemen (DPR atau senat/DPD), dan tetap berfungsi sebagai anggota parlemen.
Dalam sistem parlementer dapat dipahami bahwa yang mengangkat kepala pemerintahan (perdana menteri, menteri, atau deputi menteri) adalah parlemen. Dapat dikatakan bahwa partai-partai pemenang dalam pemilihan umum untuk parlemen (DPR atau Senat/DPD) membentuk kualisi untuk mengangkat seorang kepala pemerintahan (perdana menteri, menteri, atau deputi menteri). Sementara partai-partai yang kalah akan membentuk oposisi untuk mengawasi jalannya pemerintahan. Di sinilah terjadi proses check and balances atau saling mengimbangi sehingga apabila terjadi ketidaksesuaian atas kebijakan yang diambil oleh kepala pemerintahan (perdana menteri, menteri, atau deputi menteri) dapat saja partai oposisi mengusulkan penggantian kepala pemerintahan (perdana menteri, menteri, atau deputi menteri) partai pengusun. Sementara dalam sistem presidensial, kepala pemerintahan yang sekaligus sebagai kepala negara (presiden) dipilih langsung oleh rakyat bersama dengan pemilihan parlemen (DPR dan DPD).
Di Indonesia sendiri, berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (Selanjutnya disebut MK) Nomor 14/PUU-XI/2013 tanggal 23 Januari 2014, bahwa pemilihan presiden dan wakil presiden berdasarkan Pasal 3 Ayat (5), Pasal 12 Ayat (1) dan Ayat (2), Pasal 14 Ayat (2), dan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang intinya pada Pasal 3 Ayat (5) mengatur “pemungutan suara pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan paling lama 3 (tiga) bulan setelah pengumuman hasil pemilihan anggota , DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota”. MK menyatakan bertentangan dengan UUD 1945 sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dengan demikian, pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan bersamaan (serentak) dengan pemilihan anggota DPR, DPD, dan DPRD (Anggota Legislatif) dan menurut MK berlaku untuk penyelenggaraan pemilu tahun 2019 dan pemilihan seterusnya.
b.     Presiden tidak boleh dijatuhkan (diberhentikan) dalam masa jabatannya karena aspek politis atas kebijakan presiden yang dinilai salah), tetapi harus dengan aspek yuridis yaitu melakukan pelanggaran hukum (penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, serta terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden). Hal ini diatur dalam Pasl 7A UUD 1945.
c.      Ada distribusi (pemisahan) kekuasaan, sedangkan dalam sistem pemerintahan parlementer tidak ada distribusi kekuasaan yang jelas. Kekuasaan legislatif sepenuhnya pada parlemen, meskipun presiden tetap dapat mengajukan rancangan undang-undang kepada parlemen (DPR atau Senat/DPD). Presiden tidak ikut membahas rancangan undang-undang, tetapi presiden memiliki hak menolak (hak veto) terhadap rancangan undang-undang yang disepakati oleh parlemen (DPR atau Senat/DPD sebagai dua kamar).
Namun UUD 1945 menganut pembagian kekuasaan sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 20 Ayat (2) UUD 1945 bahwa “setiap RUU dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama”. Ketentuan inilah yang membuat rancu penguatan sistem presidensial, karena meskipun kekuasaan membentuk undang-undang ada pada DPR (Pasal 20 Ayat (1) UUD 1945), tetapi presiden tetap diberi kekuasaan untuk membahas RUU bersama dengan DPR.
Aspek inilah yang perlu dalam perubahan kelima UUD 1945, kalau Indonesia memang konsisten menganut sistem pemerintahan presidensial dengan menetapkan DPD sejajar dengan DPR sebagai pembentuk undang-undang dalam dua kamar (bicameral system).
d.     Fokus kekuasaan eksekutif (pemerintahan) ada pada presiden, tetapi presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan tetap diawasi oleh parlemen, serta ada check and balances yang jelas dalam penyelenggaraan pemerintahan.
e.     Masa jabatan presiden yang tetap (fixed terms) yang diatur dalam Pasal 7 UUD 1945, serta presiden sekaligus berkedudukan sebagai kepala pemerintahan (chief executief) dan kepala negara (chief of state). Sementara dalam sistem pemerintahan parlementer, kepala pemerintahan dan kepala negara dipegang oleh orang yang berbeda. Misalnya, kepala pemerintahan dipegang oleh perdana menteri dan kepala negara dipegang oleh raja atau ratu atau sebutan lainnya.
Presiden (baik selaku kepala negara maupun kepala pemerintahan) tidak dapat membekukan atau membubarkan DPR (Pasal 7C UUD 1945). Para menteri (anggota kabinet) diangkat dan diberhentikan oleh presiden dan tentu saja bertanggung jawab penuh kepada presiden (Pasal 17 Ayat (2) UUD 1945. Sementara dalam sistem pemerintahan parlementer, perdana menteri (eksekutif) selaku kepala pemerintahan dan anggota kabinet diangkat dan diberhentikan oleh parlemen dan memiliki hak menyatakan mosi tidak percaya kepada kepala pemerintahan.
3.    Memperkuat Lembaga Perwakilan Rakyat
Untuk memperkuat lembaga perwakilan rakyat, maka MPR harus didesain yang terdiri atas DPR dan DPD sebagai lembaga negara, bukan terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD. Hal sangat subtansial dalam pengambilan keputusan bersama yang harus dilihat pada eksistensi lembaga bukan pada jumlah anggota sehingga tercipta keseimbangan dalam dua kamar legislasi.
Dari uaraian di atas muncul pertanyaan kemudian, bahwa apabila eksistensi lembaga bukan pada jumlah anggota antara DPR dan DPD yang ada dalam anggota MPR untuk tercipta keseimbangan, maka bagaimana apabila terjadi voting dalam keputusan yang akan diambil ?. Tentu saja jumlah anggota DPD akan kalah suaranya dibandingkan dengan DPR yang jumlahnya lebih banyak. Menurut hemat penulis, mungkin di sini perlu diperhitungkan jumlah anggota MPR yang harus seimbang antara anggota DPR dan DPD. Misalnya dalam komposisi keanggotaan MPR harus dipilih utusan dari lembaga DPR 10 orang dan dari lembaga DPD 10 orang. 10 orang masing-masing adalah utusan dari kedua lembaga yang telah disepakati oleh masing-masing lembaga tersebut.
Sementara itu, jika dilihat kewenangan DPD sekarang yang terdapat dalam Pasal 22D UUD 1945 yang berkaitan dengan legislasi, hanya sekedar mengajukan RUU kepada DPR berkaitan dengan otonomi daerah (Otoda), hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan pembangunan daerah, pengelo-laan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan antara pusat dan daerah; tentu perlu diperkuat dengan prinsip kesetaraan dalam dua kamar. Meskipun DPD ikut membahas RUU tersebut (termasuk diberi kewenangan pengawasan terhadap pelaksanan undang-undang yang berkaitan dengan Pasal 22D UUD 1945, tetapi pemberian kewenangan tersebut hanya separuh hati, karena DPD tidak ikut menentukan pembentukan (penetapan) RUU sebagai rohnya kekuasaan legislatif.
Mekanisme penguatan peran DPD dalam perubahan kelima UUD 1945 didesain dalam dua kamar terhadap pengusulan, pembahasan, dan penetapan RUU menjadi undang-undang, yang dapat dilihat sebagai berikut:
a.    DPR dan DPD (termasuk presiden) dapat mengajukan RUU kepada DPR atau kepada DPD. Mengajukan RUU artinya RUU dari DPR diajukan kepada DPD, begitupula sebaliknya, untuk dibahas dan disetujui, mengusulkan perubahan, atau bahkan menolak RUU yang diajukan itu;
b.    Jika RUU disetujui oleh DPR atau DPD (secara bersama), maka RUU tersebut disampaikan kepada presiden untuk disahkan menjadi undang-undang;
c.    Apabila DPR atau DPD mengusulkan adanya perubahan dalam rancangan undang-undang yang diajukan itu, maka DPR dan DPD membentuk panitia bersama untuk membahasnya. Sebaliknya jika RUU itu ditolak oleh DPR atau DPD, maka RUU bersangkutan tidak dapat diajukan kembali dalam masa persidangan saat itu.
Presiden dapat menolak mengesahkan (hak veto) RUU yang telah disetujui oleh DPR dan DPD. Namun, RUU yang ditolak presiden sah menjadi undang-undang jika disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 anggota DPR atau 2/3 anggota DPD dengan menentukan batas waktunya untuk disahkan. Berdasarkan Pasal 20 Ayat (5) UUD 1945, batas waktu RUU yang tidak disahkan oleh presiden menjadi undang-undang adalah tiga puluh hari.
4.    Memperkuat Otonom Daerah
Mengakomodir keberangaman bangsa (etnis, agama, dan kultur), paling tidak akan memulihkan kepercayaan rakyat di daerah dalam melaksnakan otonomi daerah. Biarlah proses demokrasi berjalan di daerah dengan memberdayakan rakyat di semua tingkatan. Semua komponen bangsa perlu memahami, bahwa reformasi adalah pembebasan manusia dari keterbelakang-an dan pembodohan menuju kehidupan yang lebih baik. Untuk mencapai hal tersebut, dibutuhkan pemimpin yang jujur dan konsisten, serta memiliki kepekaan kerakyatan dengan idealisasi watak yang bermuara pada penyelesaian krisis. Bukan yang menimbulkan resistensi karena terlibat korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dan ingin kembali menerapkan setralisasi.
Berbagai isu negatif yang berkembang dalam masyarakat tentang pelaksanaan otoda yang berkaitan dengan pemicu terjadinya disentigrasi bangsa, sungguh memprihatinkan di tengah harapan rakyat agar memperoleh penghidupan yang lebih baik. Fenomena ini dapat membangun “image negatif” dengan menggunakan berbagai cara, padahal otoda merupakan konkretisasi dari asas desentralisasi yang memberi kewenangan yang lebih besar kepada pemerintah daerah/kota untuk menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan sendiri tetapi tetap dalam keutuhan NKRI.
Bagi daerah/kota yang kaya akan sumber daya alamnya, kehadiran otoda disambut dengan antusias dan penuh gairah. Namun bagi daerah/kota yang miskin sumber daya alamnya, justru masih ada yang ragu-ragu dan bersikap dingin karena merasa tidak akan mampu memenuhi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerahnya (APBDnya) tampa bantuan maksimal dari pemerintah pusat.
Otoda mestinya diposisikan sebagai “instrumen pemberdaya-an” daerah/kota yang disinergikan dengan aspek diversitas untuk memperkuat integrasi nasional. Bukan menyuburkan KKN dari pusat ke daerah, atau membentuk feodalisme baru di daerah. Di sini perlunya dipahami bahwa desentralisasi butuh regulasi nasional tampa perlu membelenggu pelaksanaan otonomi itu sendiri.
Hakikat otoda bukan semata-mata “pemberian wewenang” yang lebih luas kepada daerah dalam mengatur dirinya sendiri, tetapi juga ada komitmen untuk menggali potensi daerah.  Di dalamnya membuka peluang agar lebih kreatif menggali potensi dan dikelola secara bijak. Tidak mungkin otoda terselenggara dengan baik, bila pemerintah pusat yang lebih dominan. Akan tetapi, juga tidak diharapkan agar pemerintah pusat lemah karena dapat mengakibatkan rakyat di daerah/kota jadi korban, bila membiarkan pemerintah daerah/kota jalan sendiri tanpa pembinaan dan pengawasan.
Konsep otoda dan pola pemerintahan di daerah secara konsisten mengikuti perkembangan teori, terutama pada hubungan antara pemerintah pusan dan pemerintah daerah. Dalam konteks bentuk negara, ada yang disebut negara kesatuan den negara federal. Dalam konteks negara kesatuan, dibentuk dan dibagi ke dalam beberapa daerah, sehingga pola kekuasaan negara pada hakikatnya berada pada pemerintah pusat, kemudian kekuasaan itu dibagi ke daerah.
Pasal 18 Ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.” Sedangkan dalam negara federal, seperti Amerika Serikat, pola kekuasaan diinisiasi oleh daerah-daerah atau negara bagian untuk kemudian membentuk negara. Dengan demikia, hakikat kekuasaan negara berasal dari daerah, yang kemudian diserahkan kepada negara federal (pusat).
Secara teoritis (Rondinelli dan Cheema dalam Marwan Mas, 2018: 185) beberapa desain atau model desentralisasi, sebagai berikut:
a.    Dekonsentrasi, yaitu suatu pola distribusi wewenang administrasi dalam struktur pemerintahan;
b.    Delegasi, yaitu apa pendelegasian otoritas manajemen dan pengambilan keputusan atas fungsi-fungsi tertentu yang diberikan kepada organisasi-organisasi yang secara langsung tidak di bawah kontrol pemerintah;
c.    Devolusi, yaitu menyerahkan fungsi dan otoritas dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah;
d.    Privatisasi, yaitu menyerahkan beberapa otoritas dalam perencanaan dan tanggung jawab administrasi tertentu kepada organisasi swasta.
Keempat model desentralisasi di atas, pada dasarnya memayungi pengertian pelaksanaan desentralisasi dalam bentuk otonomi dan tugas pembantuan. Hanya saja, satu aspek yang perlu diapresiasi dan dipertahankan adalah kalimat otonomi yang akan menggairahkan penguatan daerah. Sedangkan kata desentralisasi merupakan payung dari berbagai variannya yang boleh jadi sebagai upaya mengurangi model sentralisasi. Untuk memperkuat otonomi daerah dalam perubahan kelima UUD 1945, beberapa subtansi perlu diapresiasi, yaitu;
a.    Hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah
Dalam desain perubahan konstitusi ke depan, ada dua pola hubungan yang perlu diperkuat, yaitu: (1) pola hubungan antara pusat dan provinsi; (2) pola hubungan antara provinsi dan kabupaten/kota. Dengan demikian, pusat hanya berhubungan dengan provinsi secara langsung, sedangkan hubungan pusat kedaerah adalah hubungan secara tidak langsung atau hubungan bertingkat, yaitu harus melalui provinsi. Pola hubungan yang bertingkat ini diharapkan akan mewujudkan efektivitas berjalannya roda unit-unit pemerinta-han dalam NKRI.
b.    Pemerintahan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
DPRD harus diberikan posisi sebagai pelaksana fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan di daerah. Pola pelaksanaan fungsi legislasinya adalah menyusun dan menetapkan Peraturan Darerah (perda), fungsi anggaran adalah menyusun anggaran daerah, dan pengawasan adalah mengawasi pemerintah daerah.
c.    Prose Legislasi Daerah
Desain penguatan legislasi daerah, tetap mencontoh pola legislasi di pusat dengan model legislasi presidensial, sehingga eksekutif daerah tidak ikut membahas rancangan perda, meski tetap dapat mengajukan rancangan perda. Perbedaan yang prinsip dengan proses legislasi di pusat adalah kepala daerah (eksekutif daerah) tidak boleh menolak, mengesahkan (hak veto) rancangan perda yang telah ditetapkan oleh DPRD, karena kontrol terhadap perda dapat dilakukan oleh pengadilan melalui Mahkamah Agung (MA) apabila bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya.
d.    Perkuat Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung dan Serentak
Prinsip pemilihan umum kepala daerah tetap diperkuat, yaitu dipilih secara langsung oleh rakyat di daerah. Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 menetapkan model pemilihan kepala daerah (gubernur, bupati, dan walikota) dengan frasa dipilih secara demokratis yang boleh dimaknai dapat melalui perwakilan atau juga dipilih secara langsung oleh rakyat. Dalam Pasal 24 Ayat (5) UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah memilih makna “dipilih secara demokratis” dengan dipilih secara langsung oleh rakyat di daerah bersangkutan.
Pemilihan secara langsung oleh rakyat harus tetap dipertahankan dan dikonkretkan dalam UUD 1945, sebagai penghargaan tertinggi atas aspirasi daerah untuk memilih kepala daerahnya. Kendati demikian, untuk daerah-daerah khusus dan daerah-daerah istimewa, undang-undang boleh mengatur dengan model pemilihan yang berbeda. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 18B Ayat (1) UUD 1945 bahwa “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.”

D.    DESAIN BIKAMERAL YANG EFEKTIF
Agenda penting dan krusial dalam perubahan kelima UUD 1945 adalah bagaimana DPD berperan dalam bikameral yang efektif sebagai konsekuensi terbentuknya dua kamar dalam badan legislatif. Selama ini, keberadaan DPD tidak lebih sebagai aksesoris demokrasi dalam sistem perwakilan. Jika pun DPR sering menuntut agar DPD bekerja dan berbuat terlebih dahulu barulah menuntut penambahan kewenangan, tentu tidak begitu saja diterima. Apa yang mesti dikerjakan hanya sekedar mengusulkan RUU atau memberikan pertimbangan, tetapi tidak turut membentuknya. Apa yang dituntut DPD bukan kepentingan anggota DPD yang ada sekarang, tetapi kepentingan rakyat secara luas yang menghuni daerah otonomi (Marwan Mas, 2018: 190).
Menyetarakan kewenangan DPD dengan DPR merupakan keniscaayaan di tengah kekecewaan rakyat terhadap DPR yang lebih sering mengabaikan aspirasi yang diwakilinya saat membuat regulasi. Partai politik yang mayoritas menghuni anggota MPR tidak membelenggu harapan rakyat, karena DPD sebagai perwakilan daerah/wilayah (regional representation) dapat bekerja sama dengan DPR dalam proses legislasi, anggaran, dan pengawasan. Tidak memadainya kewenangan DPD, membuat kabur mekanisme mengimbangi dan mengawasi dalam proses legislasi (check and balances) yang dapat bermuara pada delegitimasi partai politik yang terus melorot kredibilitasnya di mata rakyat (Marwan Mas, 2018: 190).
Untuk menyempurnakan UUD 1945 perlu dilakukan perubahan komprehensif yang bukan hanya mendesain penguatan DPD dalam sistem dua kamar (bikameral system) yang efektif, tetapi juga penguatan sistem presidensial, hak asasi manusia, otonomi daerah dan hubungan pemerintah pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan ekonomi, serta sistematika UUD 1945 yang sesuai dengan teori pembentukan konstitusi. UUD 1945 sebagai hukum dasar tetap butuh perbaikan sejalan dengan kebutuhan dan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara.

E.     PENUTUP
Sebagai penutup, dapat disimpulkan ke dalam beberapa poin penting sebagaimana tema yang telah diangkat yaitu Urgensi Penguatan Sistem Ketatanegaraan melalui Perubahan UUD 1945;
1.    Menghidupkan kembali GBHN, menurut kami bahwa menghidup-kan kembali GBHN merupakan suatu kemunduran dalam sistem ketatanegaraan kita. Tentu saja kami tidak setuju adanya perubahan UUD 1945 hanya dengan alasan semata menghidup-kan kembali GBHN. Hal itu disebabkan karena pada prinsipnya UUD 1945 dapat dijadikan sebagai pemandu dalam pembangunan nasional yang kemudian tinggal direalisasikan dalam bentuk RPJP atau RPJM begitu juga di daerah.
2.    Memperkuat Sistem Pemerintahan Presidensial, menurut hemat kami, Indonesia harus konsisten dalam sistem pemerintahan yang dianutnya jika memang mau menerapkan sistem pemerintahan presidensial melalui perubahan kelima UUD 1945. Dengan demikian, presiden harus fokus dalam menyelenggarakan pemerintahan tampa harus ikut campur dalam pembahasan rancangan undang-undang. Indonesia harus memberikan posisi kepada DPD sejajar dengan DPR sebagai pembentuk undang-undang sebagaimana sistem dua kamar dalam sistem pemerintahan presidensial.
3.    Memperkuat Lembaga Perwakilan Rakyat, untuk mendesain sistem dua kamar yang efektif perlu dilakukan penguatan DPD melalui perubahan UUD 1945. Terutama dalam komposisi keanggotaan MPR yang harus seimbang antara utusan dari DPR dan utusan dari DPD. Masing-masing utusan yang dipilih DPR untuk mewakili ke MPR adalah yang telah disepakati begitu juga dengan DPD. Kemudian perluasan kewenangan DPD sama seperti DPR dalam mengusul, membahas, dan menetapkan RUU dan bukan hanya yang terkait dengan otonomi daerah tetapi juga hal lainnya.

F.     DAFTAR PUSTAKA
Sumber Utama :
Marwan Mas, 2018. Hukum Konstitusi dan Kelembagaan Negara.                                Depok. Rajawali Pers.
Sumber Pelengkap :
Badan Pengembangan Kapasitas Kelembagaan Dewan Perwakilan                           Daerah, 2016. Deskripsi Perjuangan DPD RI: Menuju                                             Amandemen UUD 1945. Sekretariat Jendral DPD RI.
Jimly Asshiddiqie, 2014. Pengantar Hukum Tata Negara. Depok.                                  Rajawali Pers.